Dua Sebab Bunga Fintech Sulit Turun
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut bunga financial technology (fintech) pinjam-meminjam (lending) yang mencapai 19% per tahun terlampau tinggi. Namun, ada dua hal yang membuat bunga kredit di industri ini sulit turun.
Direktur Asosiasi Fintech (Aftech) Ajisatria Sulaeman menyebutkan, kurangnya data membuat fintech sulit melakukan analisis risiko kredit. Memang, fintech mengadopsi teknologi yang bisa menggali data peminjam lewat media sosial ataupun penggunaan layanan seperti Go-Jek dan yang lainnya. Namun, data itu belum menjamin bahwa peminjam punya kemampuan dan itikad baik untuk membayar.
Data lengkap itu bisa diperoleh fintech lewat Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). "Data dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) dan SLIK sangat penting, supaya kami bisa pastikan borrower itu tidak bisa fraud," ujarnya di Fintech Space, Jakarta, Selasa (28/8).
Fintech memang sudah bisa bertukar data dengan perbankan dan lembaga jasa keuangan lainnya lewat SLIK, meskipun baru diwajibkan OJK pada 2022 nanti. Namun, Aji menjelaskan bahwa sistem pendataan peminjam di fintech berbeda dengan perbankan. "Format (untuk) fintech ini belum ada," ujarnya.
(Baca juga: Fintech Lending Diklaim Sumbang Rp 26 Triliun ke PDB Indonesia)
Padahal, risiko yang ditanggung fintech imbas kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) bisa menurun bila mendapat akses data dari SLIK. Seiring dengan penurunan risiko itu, bunga fintech juga akan menurun. Alhasil, beberapa fintech memilih bunga tinggi untuk mengantisipasi NPL.
Memang ada fintech yang menggunakan jasa penilai kredit (credit scoring) seperti pemeringkat efek Indonesia (Pefindo) biro kredit. Hanya, tentu ada biaya tambahan. Nah, biaya tambahan ini dibebankan kepada peminjam lewat bunga atau ongkos operasional. "Fokusnya bagaimana kami bisa identifikasi borrower, terutama yang beritikad baik," ujarnya.
Perlu diingat, kata dia, peminjam yang menggunakan layanan fintech biasanya tidak memenuhi persyaratan perbankan. Itu artinya, ada risiko yang tidak ingin diambil oleh bank. Sementara, besaran bunga fintech ataupun lembaga jasa keuangan lainnya berbanding lurus dengan tingkat risikonya.