Harga Bahan Makanan Turun, BPS Catat Deflasi 0,05% pada Agustus
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Agustus 2018 terjadi deflasi 0,05% dengan indeks harga konsumen atau IHK sebesar 134,07. Adapun, secara year on year tetap inflasi sebesar 3,20% sedangkan secara tahun kalender (Januari – Agustus) 2,13%.
Kepala BPS Suhariyanto menyebutkan, dari 82 kota IHK sejumlah 52 kota di antaranya mengalami deflasi sedangkan 30 kota lain inflasi. Untuk deflasi tertinggi berada di Bau-Bau sebesar 2,49% dengan IHK 134,76 sedangkan yang terendah di Jember sebesar 0,01% dengan IHK 129,38.
“Inflasi tertinggi di Tarakan dan terendah di Medan serta Padangsidimpuan,” katanya, di Jakarta, Senin (3/9). Perinciannya yaitu angka inflasi di Tarakan 0,62% dengan IHK 144,99. Untuk Medan dan Padangsidimpuan masing-masing mengalami inflasi 0,01% dengan IHK 137,15 dan 131,65.
(Baca juga: Telur, Daging Ayam, dan Pertamax Turut Picu Inflasi Juli 0,28 %)
Deflasi yang terjadi pada bulan lalu disebabkan penurunan harga terutama pada beberapa kelompok pengeluaran antara lain. kelompok bahan makanan 1,10%; kelompok sandang 0,07%; serta kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan 0,15%.
Kendati demikian, sejumlah kelompok pengeluaran tetap ada yang indeksnya naik, yaitu makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 0,35%; perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 0,25%; kesehatan 0,20%; serta kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga 1,03%.
Untuk komponen inti pada Agustus tahun ini tercatat mengalami inflasi 0,30%. Secara tahun kalender, inflasi inti 2,09% sedangkan dari tahun ke tahun (year on year) sebesar 2,90%. (Baca juga: BI: Tingginya Inflasi Inti Bukan Karena Fluktuasi Kurs)
Survei BI
Deflasi yang terjadi pada bulan kedelapan sejalan dengan survei Bank Indonesia. Pada akhir pekan lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan harga masih terjaga bahkan terjadi deflasi 0,02% secara month on month (mom). Angka ini merujuk kepada hasil survei pemantauan harga (SPH) yang dilakukan bank sentral pada pekan terakhir Agustus.
Menurut gubernur BI, deflasi tersebut terpicu penurunan harga bahan bergejolak (volatile food). Adapun soal inflasi tahunan (yoy), Perry sempat menyatakan berada di level 3,24%. Angka yang disebutkan ini mendekati realisasi yang dipublikasi BPS sebesar 3,20%.
Data-data tersebut dinilai bank sentral sebagai cerminan kondisi makroekonomi domestik baik. “Stabilitas sistem keuangan terjaga, intermediasi kuat,” ucap Perry mengutip dokumen Departemen Komunikasi BI, Jumat (31/8).
Beberapa waktu lalu, BI juga sempat mengutarakan terdapat tiga faktor yang membuat inflasi terjaga. Tiga hal ini menunjukkan pengaruh nilai tukar terhadap imported inflation dalam batas teratasi alias tidak terlalu liar volatilitasnya.
(Baca juga: 3 Faktor Mengapa Gubernur BI “Pede” Inflasi Aman Meski Rupiah Melemah)
Faktor pertama, tingkat pelemahan nilai tukar rupiah year to date (ytd) sekitar 7%. Angka ini relatif lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada 2013 atau 2015. Jika dibandingkan dengan negara lain, posisi Indonesia lebih baik, seperti ketika disandingkan dengan depresiasi di India mencapai 9 %, Afrika Selatan 13,7%, dan Brasil 18,2%.
Faktor kedua, tingkat suplai barang lebih besar dari permintaan, atau kesenjangan output masih negatif. Meskipun ekonomi naik, Perry mengatakan, permintaan berada di bawah kapasitas produksi nasional sehingga tidak ada tekanan permintaan terhadap inflasi.
Faktor terakhir yang membuat inflasi barang impor masih terkendali, yaitu ekspektasi inflasi berjangkar secara baik. Ekspektasi inflasi, dalam beberapa survei, masih terjaga di dalam kisaran sasaran inflasi yaitu 3,5% tahun ini dan tahun depan. Dengan indikator-indikator tersebut, BI meyakini bisa mengendalikan inflasi inti hingga akhir 2018 dan sepanjang 2019 berada di level aman yakni 2,5% - 4,5%.
(Baca juga: Ekonom Proyeksikan Inflasi Tahun Depan 3,7% - 3,9%, Ini Asumsinya)