Istana Minta Masyarakat Tak Panik dengan Pelemahan Rupiah
Pihak Istana Kepresidenan meminta masyarakat tidak perlu panik dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terjadi saat ini. Alasannya, gejolak rupiah saat ini tidak separah yang pernah terjadi 20 tahun lalu.
Pada perdagangan Selasa kemarin (4/9), nilai tukar rupiah sudah menyentuh Rp 14.935 per dollar. Posisi ini merupakan level terendah dalam 20 tahun terakhir. Pelemahan nilai tukar juga dialami mata uang Asia lainnya, namun hanya berkisar 0,1% sampai 0,51%. Ini artinya, nilai tukar rupiah melemah paling tajam.
Pemerintah menyadari ada kecenderungan pelemahan rupiah masih berlanjut. Namun, Kantor Staf Kepresidenan (KSP) memastikan pemerintah dan bank sentral tidak tinggal diam dan akan terus berupaya menjaga rupiah kembali stabil.
(Baca: Menko Darmin: Jangan Samakan Keoknya Rupiah Saat Ini dengan 1998)
Meski semakin mendekati level yang sama pada saat krisis moneter 1998, pelemahan rupiah saat ini sebenarnya sangat jauh berbeda. Deputi III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis KSP Denni Puspa Purbasari mengungkapkan ada tiga alasan yang bisa membuktikan pelemahan rupiah saat ini tidak separah 20 tahun lalu.
1. Pelemahan tidak drastis
Sejak awal tahun ini hingga level terendahnya, rupiah hanya melemah 9,3%. Sedangkan pada 1998, nilai tukar rupiah terjun 124,39%. Volatilitas pergerakan rupiah selama krisis moneter 1997/1998 juga sangat tinggi dan bergerak dalam rentang yang lebar. Pada 1998, rupiah bergerak pada rentang Rp 5.650 – Rp 15.250 per dollar AS. Dalam satu hari, rupiah bisa menguat 20,66% atau melemah 24,11%. Nilai rupiah yang terjun bebas, diikuti dengan fluktuasi yang tinggi. Saat itu gejolak rupiah membuat hitungan bisnis kacau dan masyarakat panik.
Berbeda dengan kondisi sekarang, pelaku usaha seharusnya masih bisa menyerap efek dari pelemahan rupiah yang tidak drastis dengan volatilitas yang relatif tidak terlalu tinggi. Dibandingkan gejolak pada 1997/1998, pergerakan rupiah saat ini bisa dibilang relatif lambat, di kisaran Rp 13.542 – Rp 14.815 per dolar. Begitupun pergerakan harga hariannya, hanya menguat 0,98% dan melemah 0,61%.
2. Cadangan devisa jauh lebih besar
Meski lebih rendah dari posisi akhir tahun 2017, posisi cadangan devisa saat ini masih jauh lebih besar dibandingkan saat krisis 1998. Saat itu, cadangan devisa Indonesia hanya mencapai US$ 23,61 miliar. Sedangkan, per akhir Juli 2018, cadangan devisa sudah mencapai US$ 118,3 miliar. Itu berarti, lima kali lipat lebih besar ketimbang cadangan devisa 20 tahun silam.
Dengan cadangan devisa yang jauh lebih besar, BI memiliki lebih banyak modal untuk meredam gejolak nilai tukar. Dia mencontohkan hal yang dilakukan BI kemarin (4/9). Bank sentral mampu mengintervensi pasar, sehingga pelemahan rupiah tidak terlalu dalam.
Denni mengimbau masyarakat, termasuk pelaku pasar dan dunia usaha, tidak perlu khawatir rupiah akan terpuruk. Sebab, BI akan selalu ada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah. Di samping itu, pemerintah turut mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam mengawal rupiah.
“Pemerintah tidak akan mengintervensi Bank Indonesia. Pemerintah terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia, OJK (Otoritas Jasa Keuangan), dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan),” ujar Denni dalam keterangan resmi KSP, Selasa (4/9).
(Baca: Jokowi Siapkan Langkah Jangka Pendek Hadapi Tekanan Rupiah)
3. Kepercayaan investor masih kuat
Minat investasi asing terhadap surat utang suatu negara merupakan salah satu indikator yang secara tidak langsung memperlihatkan baik buruk kondisi makroekonomi suatu negara. Menurut KSP, tidak ada investor yang mau menempatkan uangnya di negara yang tengah sakit. Ketika bank sentral AS mengerek suku bunga, memang terlihat investor asing menarik dananya dari pasar surat utang Indonesia. Namun, sejak awal bulan ini, asing kembali masuk ke pasar surat utang Indonesia. Bahkan, per akhir pekan lalu, asing mencatatkan beli bersih Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 6,92 triliun.
Hal ini menunjukkan kepercayaan investor asing terhadap Indonesia masih kuat dan memberi harapan rupiah akan cenderung stabil atau tidak akan jatuh terlalu dalam. Lembaga pemeringkat utang Fitch Ratings juga telah mengafirmasi peringkat BBB untuk surat utang Indonesia dengan outlook stabil. Peringkat ini menunjukkan Indonesia termasuk di dalam kategori layak investasi (investment grade).
“Pemerintah akan memastikan bahwa fiskal bukan sumber dari ketidakpasatian,” kata Denni.