Pembagian Dividen pada November Mengancam Pelemahan Rupiah
Sampai dengan pengujung 2018, tantangan yang menghadang pergerakan rupiah tidak cuma soal dinamika perkonomian global. Perlu diwaspadai pula tekanan akibat momen musiman, seperti periode pembagian dividen pada November.
Sejumlah kalangan mengkhawatirkan periode tersebut dapat memicu nilai tukar rupiah semakin loyo di hadapan dolar AS. Alasannya, selama musim pembagian dividen maka para korporasi multinasional ramai-ramai mengonversi rupiah menjadi greenback alias dolar.
Guna meminimalisir tekanan terhadap rupiah tersebut maka jumlah korporasi berdarah pribumi perlu terus ditambah. Upaya ini juga harus disertai dengan perbaikan iklim bisnis secara jangka panjang.
"Solusinya, pemerintah harus segera memperbaiki lingkungan bisnis," kata Direktur Strategi dan Kepala Makro Ekonomi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat saat dihubungi Katadata.co.id, Jumat (7/9).
(Baca juga: BUMN Jasa Ditargetkan Setor Dividen Rp 30 Triliun)
Budi membenarkan bahwa upaya menggenjot populasi investor lokal merupakan target jangka panjang. Pasalnya, tekanan terhadap rupiah akibat momen musiman membutuhkan solusi permanen dengan memperbaiki fundamental iklim bisnis.
Dalam sepekan terakhir, nilai tukar rupiah mendekati level psikologis 15.000. Mengutip Bloomberg di pasar spot pada Jumat (7/9), mata uang Garuda dibuka pada Rp 14.868 per dolar AS. Angka ini menguat tipis 25 basis poin terhadap penutupan perdagangan pada Kamis (6/9). Sepanjang hari ini, kurs rupiah berada di kisaran 14.820 - 14.907.
(Baca juga: BI Kuat Intervensi Valas, Volatilitas Rupiah Terjaga)
Depresiasi Cepat
Ekonom jebolan Claremont Graduate University AS Masyita Cristallin berpendapat, depresiasi rupiah belakangan ini bisa dikatakan berlangsung cepat. Tapi perlu dibedakan perkara pelemahan kurs mata uang Garuda ini secara jangka pendek dan jangka panjang.
"Ini bisa dibilang cepat juga. Kita juga harus membedakan isu rupiah menjadi jangka panjang yang terkait faktor fundamentalnya dan jangka pendek terkait dengan sentimen," ujarnya kepada Katadata.co.id secara terpisah.
(Baca juga: Menanti Reaksi Obat Penguat Rupiah Racikan Pemerintah)
Secara fundamental, nilai tukar rupiah akan terus melemah terhadap greenback. Alasannya, defisit neraca perdagangan melebar sebagai konsekuensi defisit pada neraca perdagangan migas. Produk ekspor Indonesia juga banyak yang tergantung kepada bahan baku impor sehingga peningkatan kinerja ekspor selalu diikuti kenaikan impor.
Adapun secara jangka pendek, mata uang negara berkembang tengah menghadapi sentimen negatif akibat krisis di sejumlah negara, seperti di Turki dan Argentina. Sentimen ini muncul lantaran para investor kerap memasukkan emerging markets ke dalam satu keranjang yang sama.
"Di Indonesia ada isu lain yang juga penting, yakni likuiditas dolar di dalam negeri terbatas karena defisit neraca dagang. Selain itu devisa ekspor juga belum semua parkir di dalam negeri," tutur Masyita. (Baca juga: Faktor Pembeda Pelemahan Rupiah Saat Ini Dibandingkan Krisis 1998)