Tantangan Suplai Bahan Baku Bagi Pelaku Bisnis Fesyen
Bahan busana produksi dalam negeri belum bisa memberi kepastian harga bagi pelaku bisnis fesyen dalam hal ini desainer. Padahal, kestabilan hargalah yang kerap menjadi pertimbangan perancang mode dalam memilih kain yang mereka digunakan.
Dirjen Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih mengatakan, bahan baku busana alias kain memengaruhi harga jual produk fesyen. Pasalnya, sekitar 40% dari struktur biaya produksi dihabiskan untuk bahan.
"Artinya, kenaikan harga bahan baku akan berpengaruh secara signifikan terhadap struktur biaya produksi industri fesyen," tuturnya kepada Katadata.co.id, di Jakarta, Rabu (3/10).
(Baca juga: Bagaimana Batik Iwan Tirta Tetap Eksis Sepeninggal Sang Maestro?)
Pemilihan kain pabrikan domestik diharapkan dapat membantu desainer fesyen menjaga kestabilan harga jual produk. Sayangnya, hal ini tak begitu saja terjadi karena kain produksi industri pertekstilan dalam negeri masih bergantung kepada bahan baku impor.
Kebutuhan bahan baku dari luar negeri membuat harga kain lokal tak stabil karena harus adaptasi terhadap pergerakan kurs mata uang. Pelaku industri fesyen terutama pada skala kecil dan menengah mau tak mau menaikkan harga jual produk. "Atau, mengurangi margin profit mereka," kata Gati.
Ketergantungan terhadap bahan baku impor juga membuat kain dari pabrikan tekstil lokal relatif lebih mahal dibandingkan dengan kompetitor, seperti Thailand dan Tiongkok. Sebagai contoh, untuk bahan baku pembuatan kain rayon dan polyester, Indonesia memang punya pasokan pulp. Tapi bahan ini terkendala Bea Masuk Anti Dumping (BMAD).
Kementerian Perindustrian mengaku sedang berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan terkait kebijakan BMAD tersebut. Kendala semacam ini memengaruhi produktivitas industri fesyen.
Adapun, Ria Miranda selaku desainer fesyen muslim membenarkan bahwa pilihannya menggunakan kain lokal karena mempertimbangkan harga jual produk. Bahan seperti polyester dan rayon yang ia gunakan banyak disuplai dari pabrikan asal Bandung, Jawa Barat.
"Saya berusaha memberikan kestabilan harga jual kepada konsumen. Meskipun harus ada kenaikan harga, itu harus diimbangi dengan meningkatnya kualitas produk juga," katanya kepada Katadata.co.id secara terpisah.
Selain kain dari tekstil, desainer fesyen punya opsi lain yaitu kain kedaerahan. Tenun, batik, songket, dan lain-lain diakui dapat menambah nilai jual produk fesyen terlebih jika pasar yang dibidik adalah konsumen asing.
Soal ini Gati menyatakan bahwa pelaku industri fesyen skala kecil dan menengah akhirnya memang lebih memilih untuk memanfaatkan kain-kain etnik semacam tenun dan batik. "Sehingga mereka punya segmen konsumen tersendiri," ujarnya.
Namun, pasokan kain kedaerahan kapasitas produksinya terbatas. "Suplai kain tenun, misalnya, untuk kebutuhan produksi massal itu masih mendapatkan hambatan. Kain khas biasanya hanya untuk prapemesanan atau ketika fashion show saja," tutur Ria.
(Baca juga: Tumbuh 8,7%, Busana Muslim Jadi Andalan Ekspor Tekstil Indonesia)
Sementara itu, desainer fesyen pemula Cut Beleun turut mengutarakan jawaban senada. Finalis program Modest Fashion Project yang digagas Kemenerian Perindustrian ini mengutamakan bahan lokal untuk busana yang didesainnya.
"Bahan baku, saat ini saya pakai bahan lokal. Kalaupun menggunakan bahan impor, itu kalau sangat dibutuhkan saja. Kain-kain, saya memanfaatkan produk garmen Indonesia. Untuk sepatu juga memanfaatkan kulit domba atau kambing," kata dia.