Dua Syarat untuk Atasi Kemiskinan dengan Teknologi
Dewasa ini, banyak negara mengkaji peran teknologi untuk mengatasi kemiskinan. Berdasarkan kajian Komisi Pathways for Prosperity on Technology and Inclusive Development, kualitas data dan kebijakan pemerintah menentukan seberapa besar manfaat perkembangan ekonomi digital untuk kesejahteraan masyarakat.
Bila ada kekurangan pada kedua komponen, maka peran teknologi untuk mengurangi kemiskinan tidak akan maksimal. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, revolusi teknologi menawarkan berbagai peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Sekarang bagaimana memastikan, bahwa cara baru ini bisa benar-benar inklusif," ujar Sri yang juga menjabat Co-Chair Komisi Pathways dalam siaran pers, Kamis (4/10).
Caranya adalah dengan mengatasi eksklusivitas teknologi dan ketidaksetaraan digital. Apalagi, beberapa studi menyebutkan, masih ada tiga miliar penduduk dunia yang tidak terkoneksi internet (offline) pada 2023.
Oleh sebab itu, masyarakat harus diedukasi supaya bisa memaksimalkan peran teknologi untuk produktivitas dan daya saing. Di satu sisi, pemerintah juga harus menyediakan infrastrukturnya.
(Baca juga: Perusahaan E-Commerce Masih Pelit Data ke BPS)
Sri menyampaikan, teknologi telah menghubungkan sektor ekonomi informal dengan yang formal di Indonesia. "Karena itu, kami perlu segera memulai diskusi baru berdasarkan bukti (data) kuat terkait upaya pemberdayaan para pengambil keputusan di negara berkembang. Tujuannya, agar mereka bisa mengkapitalisasi dan mengelola teknologi baru lebih baik lagi," ujarnya.
Co-Chair Komisi Pathways Melinda Gates menambahkan, pemerintah harus lebih strategis dalam mengambil kebijakan dan mengalokasikan anggaran supaya teknologi efektif mengatasi kemiskinan. Maka dari itu, kualitas data menjadi krusial bagi pemerintah untuk mengambil keputusan.
"Kami tidak bisa membiarkan batasan menghalangi kelompok miskin dan marjinal untuk mendapatkan manfaat dari inovasi teknologi di masa mendatang,” kata dia.
Di Indonesia, misalnya, pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) mengumpulkan data dari e-commerce. Tujuannya, supaya pemerintah tahu potensi bisnis e-commerce dan perannya untuk meningkatkan penjualan produk lokal. Namun, hanya 17 dari target 79 e-commerce yang mau membagikan datanya kepada BPS.
Selain persoalan itu, Komisi Pathways mencatat, diskusi terkait teknologi terkini (frontier technologies) di tingkat global seringkali tidak terumuskan dengan baik. Akibatnya, kebijakan terkait teknologi di negara yang pasarnya tengah berkembang pun cenderung jalan di tempat.
(Baca juga: E-Commerce dan Fintech Paling Menarik Minat Investor Digital)
Untuk itu, Komisi Pathways melakukan kajian yang menghasilkan dua laporan. Pertama, laporan berjudul 'merencanakan jalur untuk pertumbuhan inklusif di era digital: dari kelumpuhan hingga ke tahap persiapan'.
Laporan ini memuat tiga hal, yaitu meningkatkan nilai pertanian menggunakan analisis data dan bioteknologi; penggunaan teknologi komunikasi termasuk virtual reality (VR) untuk layanan seperti konsultasi manajemen atau kesehatan jarak jauh; serta, menghubungkan sektor informal dan formal lewat platform digital seperti Go-Jek.
Supaya ketiga strategi itu bisa terlaksana, setiap negara perlu memastikan kesiapan digital dan penempatan infrastruktur yang tepat. Misalnya, dengan menyediakan infrastruktur telekomunikasi, seperti broadband berkecepatan tinggi dan layanan identifikasi digital atau proses pembayaran secara gratis kepada startup. Selain itu, perlu mendorong inovasi terukur dalam hal regulasi, termasuk perpajakan.
Co-chairs dari Komisi Pathway Strive Masiyiwa menyatakan, begitu banyak wirausaha muda berbakat di Afrika, namun mereka seringkali gagal memulai start-up karena perlu biaya tinggi. “Pemerintah, sektor swasta, dan warga perlu bekerja sama untuk menciptakan suatu sistem di mana inovasi bisa berkembang lebih jauh," ujarnya.
Laporan kedua bertajuk 'kehidupan digital: koneksi yang berarti untuk tiga miliar berikutnya'. Laporan ini menyoroti bagaimana eksklusifitas digital bisa memperburuk ketidaksetaraan yang ada. Maka, laporan ini memberi arahan untuk membantu negara berkembang mencegah ketertinggalan kelompok marjinal.
Komisi Pathways menemukan bahwa tidak ada satu solusi yang cocok untuk semua negara dalam upaya mengelola dampak dari teknologi terkini. Oleh karenanya, pemerintah, spesialis di bidang teknologi, swasta, maupun warga harus bekerja sama mengembangkan solusi yang paling tepat sesuai kondisi negaranya masing-masing.