IMF Prediksi Penurunan Harga Minyak Dunia Imbas Naiknya Pasokan

Rizky Alika
10 Oktober 2018, 14:40
minyak
Katadata

Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memprediksikan harga minyak dunia turun secara bertahap, setelah mengalami kenaikan tajam. Rata-rata harga minyak dunia diramalkan mencapai US$ 69,38 per barel tahun ini, kemudian turun menjadi US$ 68,76 per barel di 2019, dan berlanjut turun hingga berada di kisaran US$ 60 per barel pada 2023.

Mengutip laporan IMF bertajuk World Economic Outlook, penurunan harga minyak diprediksi imbas peningkatan produksi shale gas di Amerika Serikat (AS) dan minyak dari negara-negara OPEC+. "Pasokan minyak dunia diperkirakan akan meningkat secara bertahap melebihi batas prakiraan," demikian tertulis dalam World Economic Outlook yang dirilis dalam pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali, Selasa (9/10).

(Baca juga: Bila Harga Minyak US$ 100, Kurs Rupiah Berisiko Tembus 16 Ribu)

Harga minyak dunia berada dalam tren kenaikan selama lebih dari setahun belakangan dari kisaran US$ 45 per barel pada pertengahan 2017 ke kisaran US$ 84 per barel saat ini. Harga tersebut merupakan yang tertinggi sejak November 2014. Beberapa faktor jadi pendorong kenaikan lebih lanjut harga minyak dunia. Di tahun ini, faktor penyebabnya dari mulai produksi minyak yang tak sesuai ekspektasi hingga menurunnya ekspor minyak dari Iran seiring sanksi yang dijatuhkan AS.

Adapun lonjakan harga minyak telah memengaruhi kondisi neraca transaksi berjalan negara eksportir dan importir minyak. Secara khusus, IMF memprediksi surplus transaksi berjalan meningkat ke kisaran 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) untuk kelompok negara eksportir minyak, yaitu Algeria, Azerbaijan, Iran, Kazakhstan, Kuwait, Nigeria, Oman, Qatar, Rusia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Venezuela. Surplus transaksi berjalan di kelompok negara tersebut diprediksi berangsur turun mulai tahun depan seiring perkiraan rata-rata harga minyak dunia yang lebih rendah.

Berbanding terbalik, Indonesia sebagai negara importir minyak tercatat mengalami pelebaran defisit transaksi berjalan seiring kenaikan harga minyak. Pada kuartal II lalu, defisit transaksi berjalan tercatat mencapai US$ 8,03 miliar atau mencapai 3,04% terhadap PDB. Penyebabnya, bertambahnya defisit perdagangan migas dan berkurangnya surplus perdagangan nonmigas. Defisit perdagangan migas tercatat mencapai US$ 2,7 miliar. Bank Indonesia (BI) sempat memperingatkan kemungkinan defisit mencapai US$ 25 miliar hingga akhir tahun ini.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...