12 Poin Kesepakatan Soal Fintech di Forum IMF-World Bank
Finansial technology (fintech) menjadi salah satu bahasan utama dalam Sidang Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia. Diskusi ini akan menghasilkan 12 pokok bahasan yang bakal menjadi standar fintech secara internasional.
“Ada sekitar 1,7 miliar jiwa di dunia yang belum memiliki akses finansial,” kata Managing Director IMF, Christine Lagarde dalam siaran pers, Kamis (11/10). “Fintech bisa memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar untuk mereka.
Menurutnya, semua negara di dunia berlomba-lomba untuk mendapat keuntungan dari fintech, sembari memitigasi risikonya. “Kita perlu kerja sama internasional untuk mencapainya, untuk memastikan fintech memberi manfaat bagi masyarakat, bukan segelintir kelompok.”
Sementara Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim menyatakan bahwa Bali Fintech Agenda dapat menghasilkan kerangka kerja untuk memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan. “Terutama di negara-negara berpendapatan rendah, di mana layanan finansial masih sangat rendah.”
Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech (Aftech) Adrian Gunadi menjelaskan, selusin pokok bahasan ini bakal menjadi acuan bagi seluruh fintech di dunia. “Tetapi implementasinya harus disesuaikan dengan kesiapan infrastruktur dan pasar di masing-masing negara,” kata dia di Bali International Convention Center, Bali, Kamis (11/10).
Memang, membuat standar bagi fintech di seluruh dunia bukanlah hal mudah. Sebab, setiap negara memiliki kebijakan masing-masing. Hanya, ia memandang perlu ada standar bagi fintech khususnya dalam hal Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT).
(Baca juga: Dua Hal Yang Bikin Pemerintah Sulit Tarik Pajak Fintech)
Secara rinci, pokok bahasan pertama yakni peran fintech terhadap perekonomian dimaksudkan untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Kedua, mengadopsi teknologi terbaru untuk meningkatkan layanan keuangan kepada masyarakat. Untuk itu, pemerintah perlu mempersiapkan infrastruktur dasar seperti internet broadband, layanan data seluler, dan repositori data.
Ketiga, memperkuat kompetisi dan komitmen fintech di pasar. Pembuat kebijakan harus mengatasi risiko konsentrasi pasar. Di satu sisi, mendorong standarisasi, interoperabilitas, dan akses yang adil dan transparan bagi fintech.
Keempat, fintech harus mendorong inklusi keuangan. Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah harus menjadikan persoalan di fintech sebagai bagian dari strategi nasional inklusi dan literasi keuangan dan digital.
Kelima, pemerintah perlu memantau perkembangan fintech guna memperdalam dan memahami masalah secara rinci. Hal ini perlu untuk merumuskan kebijakan yang bisa mendorong pertumbuhan fintech dan mengurangi potensi risikonya.
Keenam, adaptasi kerangka regulasi dan praktik pengawasan untuk fintech. Sebab, respons kebijakan yang holistik di tingkat nasiomal sangat diperlukan untuk mengurangi risiko atas hadirnya fintech.
Ketujuh, menjaga integritas sistem keuangan dengan mengidentifikasi, memahami, menilai, dan memitigasi risiko penyalahgunaan fintech seperti APU PPT.
(Baca juga: Beda Aturan Fintech dan Industri Keuangan Konvensional)
Kedelapan, memodernisasi kerangka kerja hukum supaya memberi kejelasan dan kepastian bagi fintech dalam berbisnis. Kesembilan, memastikan adanya stabilitas sistem moneter dan keuangan domestik. Caranya, bisa dengan menerapkan jaring pengaman untuk mengantisipasi dampak negatif fintech.
Kesepuluh, mengembangkan infrastruktur keuangan dan data yang kuat untuk mempertahankan manfaat fintech yang tangguh terhadap gangguan, termasuk dari serangan siber.
Kesebelas, mendorong kerja sama internasional dan berbagi informasi, pengalaman, dan praktik terbaik untuk mendukung peraturan yang efektif di masing-masing negara.
Terakhir, meningkatkan pengawasan secara kolektif terkait sistem moneter dan keuangan internasional. Sebab, fntech mengaburkan batas-batas keuangan baik secara institusional dan geografis, karena menggunakan teknologi.