Pengaruh Besar Buzzer Politik Menentukan Arah Pilihan Masyarakat
Pendengung atau buzzer di media sosial masih memiliki tempat penting bagi para politisi, terutama untuk menghadapi pemilihan presiden tahun depan (Pilpres 2019). Kubu Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menganggap buzzer mampu mempengaruhi pilihan publik.
Politisi PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko mengatakan buzzer efektif untuk kepentingan politik jika memiliki pengikut yang besar. Dia mencontohkan, hanya butuh 2-3 ribu buzzer politik melalui Twitter untuk bisa mempengaruhi satu juta pemilih di Indonesia.
Agar persuasi kepada pemilih lebih efektif, para buzzer harus memiliki strategi khusus. Salah satunya yakni dengan memiliki data pemilih yang tepat. “Twitter active user itu unik, bisa pengaruhi pengguna lain,” kata Budiman di Jakarta, Jumat (12/10).
(Baca juga: Tim Jokowi-Ma'ruf Kerahkan Puluhan Ribu Akun Media Sosial).
Dengan data yang akurat, para buzzer dapat menyesuaikan pola komunikasi mereka kepada pemilih yang sudah dipetakan. Misalnya, mereka harus tahu sejumlah informasi mengenai target seperti kata yang biasa digunakan, dunia sosialnya, pemicu kemarahan, dan intensitas narsis.
Sementara itu, Kepala Divisi Advokasi dan Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menilai penggunaan buzzer merupakan suatu kebutuhan di dunia politik saat ini. Buzzer politik bakal efektif jika isu yang digaungkan di media sosial tepat sasaran. Karena itu, mereka perlu mengetahui pola komunikasi dengan komunitas tertentu sehingga topiknya pas.
Dimas Akbar, penggagas Ruang Sandi -komunitas relawan Sandiaga Uno- menilai buzzer politik dibutuhkan untuk membentuk citra politik. Dia mengakui Ruang Sandi memiliki 2.500 buzzer untuk membentuk citra Sandiaga lebih lekat dengan kalangan milenial.
Segmen ini disasar lantaran berjumlah 70-80 juta atau 30-40 persen dari seluruh pemilih. Angka tersebut cukup potensial dibandingkan segmen pemilih lainnya. (Baca pula: Selebgram, Buzzer di Media Sosial dan Bisnis Online Akan Dipajaki)
Agar strategi buzzer efektif, Dimas mengklaim Ruang Sandi menggunakan strategi yang lebih kreatif dan inovatif. Selain itu, gagasan dari Sandiaga diterjemahkan ke bahasa yang sesuai dengan target segmen. “Jadi kami masuk substansi, kontennya yang cocok ke anak muda,” kata dia.
Namun tak semuanya sependapat mengenai hal itu. Peneliti Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad menilai buzzer sebenarnya tak punya pengaruh besar untuk menggaet para pemilih. Sebab, masyarakat Indonesia yang mencari informasi politik melalui media sosial belum terlalu signifikan.
Di Jakarta, kata Saidiman, hanya 20 persen masyarakat yang mencari informasi melalui media sosial. Padahal, Jakarta merupakan kota dengan pengguna media sosial paling besar di Indonesia. “Kalau mereka bermain di media sosial saja, kecil sebetulnya pengaruhnya," kata Saidiman.
Menurut dia, upaya mempengaruhi pemilih masih lebih besar melalui media massa. Pasalnya, masyarakat yang melakukan pencarian informasi melalui televisi di Jakarta saat ini mencapai 55 persen.
Tak hanya itu, kebanyakan isu yang dimainkan di media sosial lebih banyak berasal dari media massa. Ada pun, Saidiman menilai buzzer politik di media sosial lebih berpengaruh jika ditujukan untuk mensosialisasikan terkait kinerja atau platform masing-masing kandidat.