Pemerintah Diminta Waspadai Pelebaran Defisit Perdagangan Kuartal IV

Michael Reily
16 Oktober 2018, 09:51
Pelabuhan-Tanjung-Priok-Katadata-Donang.jpg
KATADATA/
Ilustrasi aktifitas ekspor-impor barang di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Pemerintah perlu waspadai  potensi pelebaran defisit neraca perdagangan kuartal akhir tahun ini. Sebab, meskipun September 2018 neraca perdagangan mampu mencetak surplus US$ 230 juta, secara kumulatif diperkirakan belum akan banyak membantu kinerja ekspor-impor.

Secara kumulatif (Januari-September 2018), defisit neraca perdagangan pada telah mencapai  US$ 3,78 miliar. Capaian tersebut merupakan yang terburuk jika dibandingkan dengan periode Januari-September empat tahun terakhir.

Menurut data BPS, neraca dagang Januari-September 2017 mencatat surplus US$ 10,86 miliar, tahun 2016 surplus US$ 6,41 miliar, dan 2015 surplus US$ 7,22 miliar.

(Baca: Neraca Dagang Surplus, Sri Mulyani Sebut Impor RI Masih Tinggi)

Terkait kondisi tersebut, beberapa pengamat mulai menghidupkan alarm untuk waspadai pelebaran defisit perdagangan pada kuartal akhir 2018 karena kebutuhan komoditas impor yang tinggi serta ketidakpastian global. Pelemahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di satu sisi juga dinilai akan semakin membebani impor, bukan memacu ekspor.

Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menduga permintaan domestik terhadap barang impor pendukung kegiatan ekonomi dan juga stabilisasi suplai pangan dalam negeri akan tetap tinggi. Ekspor juga akan tertahan, akibat proteksi pasar global.

"Perhitungannya, impor akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan ekspor," kata Myrdal, Senin (15/10).

Dia juga menjelaskan, ekspor Indonesia masih tergantung  pada komoditas primer seperti batu bara, minyak kelapa sawit, karet, dan nikel. Padahal, tren global harga komoditas unggulan tersebut masih rendah dan belum menunjukkan peningkatan signifikan.

Selain itu, perang dagang AS dan Tiongkok masih terus memanas dengan kebijakan penetapan tarif yang tinggi antara kedua negara. Myrdal pun memperkirakan persaingan kedua kekuatan ekonomi global dapat mengganggu perdagangan global serta prospek ekonomi negara berkembang lainnya.

Ekonom Institute of Development for Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira pun mengungkapkan, impor migas akan terus naik karena pelemahan kurs rupiah. Tekanan impor kian berat karena sepanjang 12 bulan terakhir, harga minyak brent meningkat hingga 40%.

Di sisi lain, impor nonmigas, khususnya kategori barang konsumsi masih akan tumbuh. Meski sudah mulai berdampak, Bhima menjelaskan importir masih butuh waktu untuk melakukan penyesuaian dengan kebijakan peningkatan 1.147 komoditas dalam PPh Pasal 22.

Menurut Bhima, defisit akan terjadi secara konsisten sampai akhir tahun karena  permintaan domestik  terhadap komoditas impor jelang Natal dan Tahun Baru 2019 diprediksi meningkat. "Industri akan menghindari pelemahan kurs yang lebih dalam," ujarnya.

Halaman:
Reporter: Michael Reily
Editor: Ekarina
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...