Menakar Potensi Lippo Group Jadi Tersangka Kasus Suap Meikarta
Operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap perizinan megaproyek Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi telah menjerat sembilan orang. Dari jumlah tersebut, setidaknya empat orang dari Grup Lippo menjadi tersangka pemberi suap.
Keempatnya, yakni Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro, dua orang konsultan Lippo Group bernama Taryudi dan Fitra Djaja Purnama, serta satu pegawai bernama Henry Jasmen. Meski demikian, KPK belum menyeret Lippo Group sebagai perusahaan induk dalam kasus dugaan suap proyek senilai Rp 278 triliun itu.
Lantas, apakah KPK akan mampu menjerat Lippo Group dalam pidana korupsi korporasi? Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar menilai hal tersebut dapat dilakukan. (Baca juga: Terseret Dugaan Suap Meikarta, Saham Lippo Group Anjlok ).
Pasalnya, suap tersebut diduga diberikan oleh orang-orang yang memiliki hubungan kerja dalam lingkungan korporasi Lippo Group. Semua proses perizinan Meikarta yang diduga dilakukan melalui suap pun untuk dan atas kepentingan perusahaan.
“Saya berpendapat korporasi juga sudah menjadi subjek pelaku dari tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pengurusnya (Lippo Group), termasuk yang kena OTT KPK,” kata Fickar ketika dihubungi Katadata, Rabu (17/10).
Menurut Fickar, KPK tak perlu lagi menunggu perhitungan kerugian negara untuk menjerat Lippo Group sebagai tersangka. Sebab, tindak pidana korupsi yang dilakukan berupa suap untuk memuluskan proyek dari korporasi.
Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara oleh Korporasi. “KPK bisa langsung menetapkan tersangka terhadap korporasi mengingat semua perizinan itu untuk kepentingan perusahaan,” kata dia.
Dalam perkara ini, Billy bersama Taryudi, Fitra, serta Henry diduga menyuap Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan empat anak buahnya. Billy disangka memberikan suap sebagai bagian komitmen fee untuk memuluskan berbagai perizinan pada fase pertama proyek Meikarta.
Setidaknya terdapat tiga fase terkait izin yang sedang diurus untuk proyek seluas 774 hektare tersebut. Fase pertama proyek Meikarta diperkirakan untuk luasan 84,6 hektare. Fase kedua seluas 252 hektare. Sementara fase terakhir terhampar 101,5 hektare.
Billy, Taryudi, Fitra, serta Henry diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PIdana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. (Baca juga: Duo Sindoro dalam Pusaran Kasus Seret Grup Lippo di KPK).
Sementara Neneng bersama empat pejabat di bawahnya yang diduga sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PIdana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, penetapan Lippo Group sebagai tersangka akan bergantung pada proses penyidikan. KPK masih terus mengusut perkara suap sebesar Rp 7 miliar –dari komitemn Rp 13 miliar- tersebut. “Dari awal kami bilang itu tergantung di dalam pengembangan proses penyidikan yang terjadi sekarang,” kata Laode di kantornya, Jakarta, Senin lalu.
Hari ini, KPK kembali melakukan penggeledahan terkait dugaan suap megaproyek Meikarta, yakni kediaman bos Lippo Group James Riady. Lembaga anti rasuha itu juga menyisir empat lokasi lainnya, yakni Apartemen Trivium Terrace, Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, dan Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi.
“Sampai pagi ini tim penyidik KPK masih di lokasi penggeledahan,” kata juru bicara KPK Febri Diansyah dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/10). (Baca juga: Terbongkarnya Suap dalam Sengkarut Izin Megaproyek Meikarta)
Dari sisi perusahaan, pengacara dan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana telah menjadi kuasa hukum pengembang megaproyek Meikarta, PT Mahkota Sentosa Utama (MSU). Denny mengatakan pengembang akan melakukan investigasi internal.
Tujuan investigasi untuk mengungkap fakta yang sebenarnya terjadi atas kasus tersebut. “PT MSU langsung melakukan investigasi internal yang independen dan obyektif," kata kuasa hukum PT MSU Denny Indrayana dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/10).
Denny mengatakan, PT MSU tak akan mentolerir prinsip antikorupsi yang menjadi kebijakan perusahaan. Menurutnya, PT MSU akan memberikan sanksi dan tindakan tegas kepada pihak yang melakukan penyimpangan itu. Hal tersebut bakal sesuai ketentuan hukum kepegawaian yang berlaku. “Kami tidak akan segan-segan untuk memberikan sanksi,” ujar Denny.