PT Asuransi Jiwasraya tengah menghadapi masalah. Perusahaan asuransi jiwa tertua di Indonesia ini  terpaksa menunda pembayaran kewajiban polis yang jatuh tempo bulan ini. Penundaan pembayaran dilakukan untuk 711 polis produk bancassurance senilai Rp 802 miliar. Kesalahan investasi diduga menjadi penyebab sulitnya likuiditas perusahaan, sehingga bisa gagal membayarkan polis.

Ada tujuh bank yang memasarkan produk bancassurance Jiwasraya bernama JS Proteksi Plan yang diterbitkan lima tahun lalu. Ketujuh bank tersebut adalah Bank Tabungan Negara (BTN), Standard Chartered, Bank KEB Hana Indonesia, Bank Victoria, Bank ANZ, Bank QNB Indonesia, dan Bank Rakyat Indonesia (BRI).

"Kami sebagai perusahaan BUMN bersama pemegang saham sedang mengupayakan pendanaan untuk memenuhi kewajiban kepada para pemegang polis," seperti dikutip dalam salinan surat Jiwasraya kepada salah satu bank yang memasarkan JS Proteksi Plan pada 10 Oktober lalu.

Dalam surat tersebut, Jiwasraya mengungkapkan penundaan pembayaran dilakukan lantaran ada masalah likuiditas yang membelit keuangan perusahaan. Padahal, dalam laporan keuangan 2017, perusahaan asuransi pelat merah ini menunjukkan kinerja keuangannya masih positif, dengan perolehan laba yang mencapai Rp 2,4 triliun.

Sumber Katadata.co.id menyebutkan ada potensi fraud (kecurangan) dalam permasalahan Jiwasraya. Makanya, Menteri BUMN Rini Soemarno sampai meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit investigasi. (Baca juga: Likuiditas Jiwasraya Tertekan, Menteri BUMN Minta BPK Investigasi)

Dia mengungkapkan tekanan likuiditas yang membuat Jiwasraya gagal bayar polis bancassurance terjadi karena kesalahan investasi. Pada periode 2007 hingga 2012, Jiwasraya menempatkan dananya pada repo saham. Transaksi repo (repurchase agreement) adalah pinjaman yang diberikan dengan agunan berupa saham. Pinjaman seperti ini menawarkan bunga yang tinggi mengingat risikonya juga tinggi. Makanya Jiwasraya berani menerbitkan produk asuransinya, seperti JS Proteksi Plan pada 2013 dengan menawarkan bunga tinggi.

Masalah muncul ketika pasar modal melemah dan harga-harga saham anjlok. Perusahaan tidak bisa menjual saham yang menjadi agunan pinjaman tersebut karena nilainya turun. Jiwasraya sebagai pemberi pinjaman bisa rugi jika memaksakan menjual jaminan saham saat harganya rendah.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah mencium ketidakberesan ini setelah mendapatkan laporan dari Asmawi Syam yang baru dilantik menjadi Direktur Utama Jiwasraya pada Mei 2018 lalu. Ada ketidaksesuaian aset dan kewajiban dalam laporan keuangan tahun lalu.

Dalam laporan keuangan tersebut tercatat perolehan laba bersih Jiwasraya mencapai Rp 2,4 triliun. naik 37,64% dibandingkan tahun sebelumnya. Premi netto mencapai Rp 21,8 triliun atau naik 21,52%, sedangkan hasil investasi naik 21,09% menjadi Rp 3,86 triliun.

Namun, Asmawi merasa ada kejanggalan dalam laporan keuangan tersebut. Dia pun meminta PricewaterhouseCoopers (PWC) melakukan audit ulang. Ternyata benar, hasil audit ulang menyatakan laba bersih Jiwasraya tahun lalu tidak mencapai triliunan, melainkan hanya Rp 360 miliar.

Saat dikonfirmasi, Asmawi belum mau memberikan gambaran utuh mengenai penyebab terjadinya tekanan likuiditas yang berujung pada penundaan pembayaran polis jatuh tempo tersebut. “Kami saat ini sedang diaudit oleh BPK dan BPKP. Pada saatnya nanti, kalau hasilnya sudah ada, akan kami rilis,” ujarnya. Sejauh ini indikasi kesulitan likuiditas Jiwasraya adalah kesalahan dalam pengelolaan investasi. Mayoritas dana kelolaan diinvestasikan dalam bentuk sekuritas (efek) di pasar modal, sisanya di tanah dan properti

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti dua hal yang membuat Jiwasraya kesulitan likuiditas. Pertama, tren kinerja investasi yang turun seiring melemahnya kinerja pasar modal belakangan ini. Di sisi lain, Jiwasraya menjanjikan imbal hasil yang cukup tinggi kepada nasabahnya. 

Jiwasraya tidak bisa begitu saja menjual saham investasinya di saat harga rendah. "Kalau (investasi) dicairkan sekarang untuk bayar itu (polis), akibatnya cut loss kan. Kalau cut loss di perusahaan BUMN, nanti dituduh merugikan negara," kata Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non-Bank II Moch Ichsanuddin di Jakarta, Kamis (18/10). (Baca juga: OJK: Jiwasraya Kesulitan Cut Loss dan Tambah Modal)

Kedua, perolehan premi yang juga turun. Sepanjang tahun lalu total pendapatan premi Jiwasraya mencapai Rp 21,9, tapi hingga bulan ini belum sampai Rp 8 triliun. Dua hal ini yang membuat likuiditas Jiwasraya semakin berat. Pendapatan dari investasi dan premi tidak bisa menutup selisih likuiditas. Sebenarnya OJK pun telah memperingatkan Jiwasraya untuk menjaga likuiditas agar kewajiban kepada pemegang polis bisa terjaga.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement