Sri Mulyani Jelaskan Manfaat Kenaikan Utang Rp 1.329 T di Era Jokowi
Utang pemerintah bertambah Rp 1.329,9 triliun sepanjang 2015 sampai 2017. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan penggunaan utang untuk membiayai proyek ataupun program yang bersifat produktif, seperti pembangunan infrastruktur, penguatan program pendidikan, kesehatan, hingga perlindungan sosial.
"Makanya kalau dilihat kemiskinan turun dan gini ratio semakin mengecil. Wong hasilnya (utang) jelas, kok. Penurunan kemiskinan tidak datang begitu saja, tapi melalui program," kata dia dalam Konferensi Pers 4 Tahun Kerja Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (23/10).
Sri Mulyani membenarkan, tambahan utang pemerintah pada periode 2015 sampai 2017 tersebut lebih tinggi dibandingkan pada periode 2012 hingga 2014 yang sebesar Rp 799,8 triliun. Namun, tambahan utang tersebut juga diiring dengan kenaikan biaya infrastruktur, pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, hingga penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik dan dana desa.
(Baca juga: Rasio Utang Pemerintah Tembus 30% terhadap PDB, Amankah?)
Pada periode 2015 sampai 2017, pembiayaan infrastruktur mencapai Rp 904,6 triliun, pendidikan Rp 1.167,1 triliun, kesehatan Rp 249,8 triliun. Sementara itu, perlindungan sosial Rp 299,6 triliun serta DAK fisik dan dana desa (transfer daerah) Rp 315,9 triliun. Adapun transfer daerah masuk dalam kategori belanja produktif lantaran ada mandatori 25% untuk infrastruktur, 20% untuk pendidikan, dan 10% untuk kesehatan.
Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan periode 2012 hingga 2014. Ketika itu, pembiayaan infrastruktur mencapai Rp 456,1 triliun, pendidikan Rp 983,1 triliun, dan kesehatan Rp 146,4 triliun. Sementara, perlindungan sosial sebesar Rp 35,3 triliun, serta DAK fisik dan dana desa sebesar Rp 88,6 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan, seiring dana perlindungan sosial yang meningkat delapan kali lipat, angka kemiskinan turun menjadi 9,8% pada Maret 2018. Sebelumnya, tingkat kemiskinan tercatat sebesar 10,96% pada 2014 kemudian meningkat menjadi 11,13% pada 2015.
Tingkat ketimpangan yang tercermin dari rasio gini juga turun menjadi 0,389. Sebelumnya, rasio gini sebesar 0,414 pada 2014; 0,402 pada 2015, 0,394 pada 2016; dan 0,391 pada 2017.
Meski belanja pemerintah mengalami peningkatan, Sri Mulyani mengatakan defisit anggaran semakin mengecil. Defisit anggaran pada 2014 tercatat sebesar 2,25%; pada 2015 sebesar 2,59%; pada 2016 sebesar 2,49%; dan 2017 sebesar 2,51%. Pada tahun ini, defisit anggaran diperkirakan sebesar 2,12% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
(Baca juga: Realisasi Utang Turun 25%, Sri Mulyani: Pengelolaan Semakin Hati-hati)
Selain utang, ia menjelaskan, sebagian besar dana untuk belanja pemerintah berasal dari penerimaan perpajakan. "Utang hanya suplemen, bukan yang utama," ujarnya.
Penerimaan perpajakan terus mengalami peningkatan. Pada 2014, penerimaan perpajakan mencapai Rp 1.146,9 triliun atau berkontribusi membiayai 74% belanja pemerintah. Tahun ini, penerimaan perpajakan diprediksi mencapai Rp 1.548,5 triliun atau berkontribusi dalam membiayai 81% belanja negara.
Perbaikan Komposisi Belanja
Sri Mulyani menjelaskan, sejak tahun 2015, pemerintah melakukan perbaikan komposisi belanja negara dengan mengurangi subsidi energi yang cenderung dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah meningkatkan anggaran perlindungan sosial guna mengurangi kemiskinan.
Secara rinci, subsidi energi pada 2014 sebesar Rp 341,8 triliun, kemudian turun menjadi Rp 119,1 triliun pada 2015. Selanjutnya, subsidi energi dijaga pada kisaran Rp 100 triliun pada tahun ini. Bila mengacu pada proyeksi pemerintah pada pertengahan tahun ini, subsidi bakal membengkak menjadi 163,4 triliun seiring kebijakan pemerintah menambah subsidi lantaran menahan harga energi di tengah kenaikan harga minyak dunia.
(Baca juga: Arah Harga BBM di Tengah Anggaran Subsidi Energi 2019 yang Naik Tipis)
Di sisi lain, anggaran perlindungan sosial meningkat. Anggaran untuk program keluarga harapan (PKH) tahun 2014 sebesar Rp 4,4 triliun untuk 2,8 juta penduduk miskin. Pada 2018, PKH naik menjadi Rp 17,3 triliun untuk 10 juta penduduk miskin. "Tahun depan akan meningkat dua kali lipat lagi," kata dia.
Anggaran untuk program Indonesia Pintar tercatat sebesar Rp 6,6 triliun untuk 11 juta siswa pada 2018, sedangkan pada 2018 meningkat menjadi Rp 11,2 triliun untuk 20,5 juta siswa. Kemudian, subsidi pangan pada 2014 mencapai Rp 18,2 triliun, sedangkan tahun ini sebesar Rp 20,8 triliun untuk 15,6 juta penduduk. Lalu, subsidi bunga kredit sebesar Rp 2,8 triliun pada 2014 dan menjadi Rp 18 triliun tahun ini.