Sejumlah provinsi telah mengumumkan kenaikan nilai Upah Minium Provinsi (UMP) 2019 sesuai formula yang ditetapkan pemerintah. Namun, beberapa federasi pekerja dan asosiasi pengusaha menolak besaran UMP yang baru. Buruh mengancam akan turun ke jalan karena kenaikan upah dinilai terlalu rendah. Sementara pengusaha berpandangan, produk dalam negeri terancam kehilangan daya saing akibat kenaikan UMP.

Sampai Jumat (2/11) pekan lalu, sudah ada 26 provinsi yang telah melaporkan kenaikan UMP untuk tahun depan. Menurut Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, semua pemerintah provinsi (Pemprov) mengerek UMP sesuai dengan patokan yang ditetapkan pemerintah pusat sebesar 8,03%. Ini tercantum dalam Surat Edaran (SE) Menteri Tenaga Kerja Nomor B.240/M-NAKER-PHI9SK-UPAH/X/2018 mengenai Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2018.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan mengatur, rumus perhitungan kenaikan upah adalah UMP tahun berjalan + [UMP tahun berjalan x (inflasi nasional + pertumbuhan ekonomi)]. Angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang dihitung Badan Pusat Statistik (BPS) hingga September 2018 masing-masing sebesar 2,88% dan 5,15%. Dengan demikian, persentase kenaikan UMP tahun depan adalah 8,03%.

Patokan persentase UMP untuk 2019 ini turun dibanding kenaikan UMP tahun ini yang mencapai 8,71%. Sebab, inflasi antara September 2016 hingga September 2017 mencapai 3,72%. Karena inflasi tinggi, meski pertumbuhan ekonomi pada kuartal III dan IV-2016 hingga kuartal I dan II-2017 hanya sebesar 4,99%, persentase kenaikan upah menjadi lebih tinggi.

Hanif berharap, kenaikan ini bisa menjadi win-win solution, baik bagi buruh maupun pengusaha. Di satu sisi, pekerja mendapatkan kepastian kenaikan upah tahun depan. Di sisi lain, dunia usaha juga memperoleh kepastian kenaikan biaya Sumber Daya Manusia (SDM) tahun depan, sehingga tidak mengganggu kelancaran usaha.

(Baca: Menaker: 26 Provinsi Sudah Laporkan Penetapan Upah Minimum)

Buruh Pabrik
Buruh Pabrik (ANTARA/Yulius Satria Wijaya)
 

Sebagian asosasi pengusaha dan pekerja memilih pasrah dengan penetapan ini. Meski mengakui kondisi ekonomi yang dihadapi pengusaha cukup berat, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang misalnya berharap, semua pengusaha mematuhi kebijakan kenaikan UMP dan tak ada pebisnis yang mengajukan penangguhan kenaikan.

Adapun Sekretaris Jenderal (Sekjen) Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar berpendapat, dengan kondisi inflasi yang terkendali seperti sekarang ini, pekerja merasa kenaikan upah minimum yang ditetapkan masih cukup layak.

Namun, tidak sedikit yang keberatan dengan UMP yang baru ini. Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat misalnya menilai, kenaikan UMP akan memukul industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Jawa Barat, terutama sentra industri di Bogor, Bekasi, Karawang, Purwakarta, dan Depok.

Ini karena upah minimum di wilayah tersebut sudah tinggi. Dengan kenaikan upah lagi di tahun depan, ongkos produksi akan meningkat dan produk TPT di wilayah tersebut terancam kehilangan daya saing. Tidak heran, banyak pabrik yang memilih relokasi di daerah lain seperti Jawa Tengah yang memiliki upah minimum lebih rendah.

Industri TPT di Karawang misalnya, saat ini hanya terdiri dari delapan pabrikan. Padahal, hanya beberapa tahun sebelumnya, masih ada 22 pabrik TPT yang beroperasi di wilayah tersebut.

Ade mengakui, sebelum ada PP Nomor 78/2015, banyak kepala daerah yang menjanjikan kenaikan upah minimum untuk kepentingan politik. Dengan adanya PP, formula kenaikan lebih diseragamkan. Namun, ia berharap ada regulasi khusus yang mengatur UMK untuk industri padat karya. Sebab, di industri hilir tekstil sebagai contoh, porsi upah buruh mencapai 15%-23% dari ongkos produksi.

Ada juga pelaku usaha yang menolak karena wilayah mereka baru dilanda bencana. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya meminta agar UMP NTB di 2019 tetap menggunakan UMP tahun ini yang sebesar Rp 1.825.000. "Ini karena kondisi bisnis masih lesu,” kata Ketua Apindo NTB Ni Ketut Wolini, seperti dikutip Radar Lombok.

Jika UMP harus naik pada tahun depan, ini akan memberikan tekanan ke pengusaha yang sekarang masih dalam kondisi terpuruk. Padahal. sekarang saja sudah ada perusahaan yang terpaksa merumahkan karyawannya karena tidak mampu membayar gaji akibat kondisi perekonomian nasional yang lesu ditambah dengan bencana gempa bumi yang merusak perekonomian di NTB.

Halaman:
Editor: Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement