Ada Kepentingan Jepang, Kesepakatan Kerja Sama Ekonomi RCEP Tertunda
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan target konklusi Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) mundur menjadi tahun depan. Penyebabnya, masih ada beberapa negara yang bersikeras mempertahankan kepentingannya sehingga proses kesepakatan berjalan alot.
Salah satu negara yang tetap bersikeras dan memaksakan kepentingannya adalah Jepang .
Negeri Sakura itu juga tak bersedia menunjukkan fleksibilitas dalam perjanjian dagang, berbeda dengan sikap Tiongkok dan India yang memberi dukungan terhadap ASEAN dan mampu menunjukkan fleksibilitasnya dalam RCEP.
(Baca: Hadapi Kerja Sama Dagang RCEP, Pengusaha Minta Regulasi Dipermudah)
Sejumlah masalah substansial dalam perundingan RCEP pun akhirnya terhambat karena sikap resistensi Jepang. Perundingan hanya mampu menyelesaiakan dua bab tentang Standar, Regulasi Teknis, dan Prosedur untuk Kesesuaian (STRACAP) dan Institutional Provision, Sanitary, and Phitosanitary sehingga bab tentang kompetisi tidak selesai.
"Seharusnya para menteri menawarkan solusi serta rekalibrasi ambisi untuk kepentingan bersama" kata Enggar dalam keterangan resmi dari Singapura, Rabu (14/11).
Meski begitu, dia optimistis perundingan RCEP dapat selesai tahun depan. Apalagi, perundingan ke-25 bakal diadakan di Indonesia.
Laporan kemajuan perundingan RCEP oleh para menteri kepada kepla negara berlangsung pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-33 di Singapura. Alhasil, komitmen politik pemerintah tiap negara yang ikut dalam perundingan RCEP harapannya bisa menjadi solusi penyelesaian.
Perundingan RCEP melibatkan 10 negara Asia Tenggara bersama 6 mitra perdagangan bebas - Australia, India, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, dan Selandia Baru. Jika perundingan RCEP itu rampung, maka ini akan menjadi perjanjian perdagangan bebas regional dunia karena mencakup 48% penduduk dunia, 38% produk domestik bruto global, serta 42% perdagangan internasional.
Upaya penyelesaian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) disambut positif para pengusaha. Mereka telah menyiapkan berbagai strategi untuk mendongkrak ekspor lewat RCEP.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman mengatakan, kesiapan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sudah sangat matang. Rencananya, industri TPT bakal mendorong ekspor produk pakaian yang memiliki nilai tambah dan lapangan kerja lebih besar. (Baca juga: Finalisasi Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional Dibayangi Hambatan)
Melalui RCEP, ekspor TPT ditargetkan naik menjadi dua kali lipat dalam tiga hingga empat tahun ke depan. Saat ini, nilai ekspor dari TPT senilai US$ 13 miliar.
Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Rachmat Hidayat pun menyatakan industri makanan dan minuman (mamin) telah siap menghadapi RCEP. Selama ini industri mamin juga telah bersaing melalui adanya perjanjian perdagangan bebas (FTA) Asia Tenggara.
Hanya saja, Rachmat menilai pemerintah perlu mempermudah produksi industri mamin lebih baik melalui regulasi. Selama ini, Rachmat menilai masih banyak regulasi yang menghambat industri mamin untuk bisa memiliki daya saing lebih baik.
Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Drajad Wibowo menilai pemerintah memang selama ini kurang mempersiapkan industri dalam negeri untuk menghadapi RCEP. Alhasil, Indonesia diprediksi mengalami kerugian lebih besar dibandingkan mendapatkan keuntungan dari RCEP.
Meski demikian, Indonesia tak bisa balik badan dari perundingan RCEP yang tengah berjalan saat ini. Sebab, perundingan RCEP sudah sejak lama dilakukan.
"Karena itu komitmen negara jadi harus tetap melakukan, tapi masalahnya negara punya kewajiban untuk mempersiapkan industri dan pelaku bisnis," kata Drajad.