Buaian Ekspor Batu Bara dan Resep Indonesia Menjadi Negara Maju

Image title
22 November 2018, 16:25
industri 4.0
ANTARA FOTO/Risky Andrianto
Pekerja menyelesaikan proses perakitan bodi mobil di pabrik PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Karawang, Jawa Barat, Kamis (29/3/2018). Toyota Manufacturing salah satu pabrik yang menerapkan industri 4.0.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menilai industri sudah terbuai dengan ekspor komoditas seperti batu bara dan sawit, sehingga melupakan sektor manufaktur. Padahal, negara yang memiliki perekonomian besar akan maju sektor manufakturnya, seperti G20.

Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan perekonomian Indonesia sebenarnya pernah tumbuh 5% pada tahun 1990-an hingga sebelum krisis 1998. Saat itu, komoditas yang kuat adalah minyak dan gas bumi; serta kayu. Jadi, banyak orang menjadi kaya di Indonesia karena bisnis utamanya adalah pengolahan kayu.

Saat itu juga Indonesia menjadi “Macan Asia” karena industri manufakturnya berkembang. Bambang tidak menampik manufaktur Indonesia sangat berkembang karena ada relokasi industri dari Jepang.

Waktu itu, Jepang sudah menjadi negara maju, upah buruh di sana menjadi mahal. Sehingga perlu relokasi. Indonesia pun berhasil “mengambil hati” para pengusaha Jepang karena upah buruh yang paling murah. Ketika itu, Indonesia harus bersaing dengan Malaysia dan Thailand.

Alhasil, masa itu, pabrik garmen dan sepatu berbondong-bondong ke Indonesia. Sektor manufaktur pun menyumbang 30% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ketika itu. 

Namun, kejayaan manufaktur tak bertahan selamanya. “Setelah krisis, usaha mereka kolaps. Mungkin kesalahan manajemen perusahaan dan utang luar negeri terlalu tinggi, jadi bangkrut,” kata Bambang di Jakarta, Kamis (22/11).

Setelah manufaktur meredup, muncul era komoditas, seperti batu bara dan kelapa sawit. Apalagi, ketika itu Tiongkok sangat “haus” energi. Salah satu sumber energi Tiongkok adalah batu bara dari Indonesia.

Akhirnya, Indonesia pun mengekspor batu bara secara agresif. Di sinilah, Bambang menilai Indonesia melakukan kesalahan berpikir. Alasannya, ekspor batu bara hanya bersifat jangka pendek karena tidak didukung dengan cadangan yang besar.

Indonesia lalu terjebak dan tidak lagi mengembangkan manufaktur. “Memang batu bara dan sawit memberikan kemakmuran. Karena sudah terbuai, jadi industri manufaktur yang sudah kolaps tidak pernah dikembangkan kembali. Padahal negara G20 itu ekonominya besar karena sumbangan manufakturnya signifikan,” ujar Bambang.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...