Pelonggaran DNI, Pengusaha Kayu Tak Gentar Bersaing dengan Asing
Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) menyatakan tak takut bersaing dengan investor asing seiring dibukanya Daftar Negatif Investasi (DNI) untuk industri perkayuan. Menurutnya, pengusaha kayu cukup optimistis mampu bersaing dengan perusahaan asing karena kualitas kayu Indonesia sudah cukup diakui di kalangan internasional.
Ketua Umum Apkindo Martias menyebut masuknya investor maupun pemain asing malah membuat para pelaku usaha semakin bersemangat meningkatkan daya saing. "Industri dalam negeri akan terus bersaing dengan menjaga bahan baku dan mendukung usaha yang kecil," kata Martias di Jakarta, Senin (26/11).
(Baca: Hanya 7 Sektor Baru Dibuka untuk Asing, Puluhan Bidang Diperlonggar)
Menurutnya, ketersediaan bahan baku menjadi salah satu syarat untuk berjalannya industri kayu olahan. Sehingga, pelaku usaha kayu olah dalam negeri siap terus meningkatkan skema kemitraan dengan penyedia bahan baku dalam hutan tanaman industri (HTI).
Tak hanya itu, Apkindo juga akan mendorong inovasi produk jadi supaya lebih sesuai dengan permintaan global. Contohnya, dengan membuat produk furnitur yang bernilai tambah tinggi. "Kita harus buat produk jadi dengan pasar yang lebih bagus," ujar Martias.
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono mengungkapkan relaksasi DNI dalam industri kayu olah akan membuat industri nasional lebih kompetitif. Dibukanya DNI untuk asing diharapkan bisa memperkuat pada sektor hulu.
Meski demikian, dia pun tak menampik relaksasi DNI masih belum menarik bagi para investor asing. Kebijakan relaksasi DNI untuk kayu juga masuk kepada kelompok D atau industri yang masih membutuhkan rekomendasi kementerian teknis - nantinyaprosedurnya akan dicabut.
(Baca juga: Ini Skema Lengkap Tax Holiday dalam Paket Kebijakan Ekonomi Terbaru)
Menurut catatan pemerintah, terdapat sektor 4 industri perkayuan yang DNInya dibuka untuk asing, yaitu industri kayu veneer, industri kayu lapis, industri kayu laminated veneer lumber (LVL), dan industri pelet kayu. "Itu sudah dibuka sejak 2016, tidak ada realisasi (investasi) karena tidak ada yang mau," kata Bambang.
Menurutnya, industri nasional saat ini juga sedang menggalang kekuatan untuk penguatan industri hulu. Tujuannya supaya ketersediaan bahan baku tetap terjamin sehingga ekspor produk kayu nasional bisa kembali menjadi komoditas andalan.
Apalagi, industri kehutanan saat ini sudah dilengkapi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) guna memastikan kepada konsumen bahwa produk kayu yang diproduksi diperoleh dari sumber resmi dan mengacu pada keberlanjutan lingkungan. "Kalau lebih kompetitif, akan menjadi solusi bagi lapangan kerja dan pengurangan pengangguran," ujarnya.