Dua Penyebab Aturan PLTS Atap Tak Menarik
Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menilai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 49 tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap tidak menarik. Setidaknya ada dua penyebab yang membuat aturan baru tersebut tidak menggairahkan investasi.
Pertama, mengenai tarif listrik yang dieskpor dari konsumen ke PLN. Di dalam pasal 6 disebutkan energi listrik yang diekspor dihitung berdasarkan nilai kilowatt hour (kWh) ekspor yang tercatat pada meter kwH ekspor-impor dikali 65%.
Ketua METI Surya Darma mengatakan, untuk mau menggunakan PLTS Atap masyakarat akan menghitung nilai keekonomiannya. Jika menguntungkan tentu banyak masyarakat yang akan memasangnya.
Dengan perhitungan 65% maka nilai tersebut tidak terlalu menarik, karena tarif yang dibayarkan dari PLN ke konsumen lebih murah. Sedangkan tarif listrik dari konsumen ke PLN lebih mahal.
Kedua, jika jaringan listrik PLN mati, PLTS Atap juga ikut mati. Ini karena jaringan listriknya tersambung dengan PLN. Sedangkan, tujuan adanya aturan ini untuk mengajak masyarakat berpartisipasi dalam mencapai bauran energi terbaruk 23% pada tahun 2025.
Dengan aturan itu, PLTS Atap ini akan tetap bergantung pada jaringan PLN. Menurutnya, aturan ini hanya mempersoalkan ekspor-impor listriknya saja, tapi tidak untuk mengejar bauran energi. “Artinya tujuan untuk meningkatkan bauran energi tidak tercapai," kata Surya Darma.
(Baca: Pemerintah Ungkap Alasan Tarif PLTS Atap Dipatok 65%)
Meski begitu, aturan baru ini tetap harus diapresiasi. Ini karena pemerintah telah memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang ingin memasang PLTS Atap.