Sri Mulyani: Kekompakan G20 Menguap, Indonesia Perlu Negosiator Unggul
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru saja menghadiri pertemuan G20 di Buenos Aires, Argentina. Melalui akun resmi Facebook dan Instagram miliknya, ia membagikan “oleh-oleh” dari pertemuan tersebut. Ia menyinggung soal kekompakan negara G20 yang menguap hingga banyaknya tantangan ke depan.
Forum G20 di Argentina, menurut dia, berada dalam suasana yang berbeda dengan ketika forum tersebut digelar pertama kali untuk merespons krisis 2008. Ketika itu, semua pemimpin negara G20 kompak sepakat menyelamatkan ekonomi dunia dengan kebijakan ekonomi satu arah dan saling mendukung, karena mereka percaya bahwa ekonomi global harus dijaga bersama.
“(Kini) Kekompakan, kebersamaan dan kesepakatan bersama sepuluh tahun yang lalu seperti menguap. Selain pemulihan ekonomi masih belum merata, kebijakan ekonomi antara negara semakin tidak sinkron dan tidak searah,” kata dia dalam tulisan yang diiunggah di akun media sosialnya, Minggu (2/12).
Ia pun menyinggung soal konfrontasi perdagangan dan normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) yang menimbulkan arus keluar modal asing dari negara berkembang dan gejolak nilai tukar mata uang; gejolak harga komoditas terutama minyak; hingga kebijakan negara yang berlomba-lomba menurunkan tarif pajak (race to the bottom).
(Baca juga: JK: RI Dorong Perbaikan Hubungan Dagang AS-Tiongkok pada KTT G20)
Sejauh ini, menurut dia, beberapa kemajuan penting telah dibuat lewat forum G20. Reformasi regulasi sektor keuangan dan perbankan sudah dilakukan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya pemupukan risiko berlebihan di sektor keuangan.
Selain itu, ada kemajuan penting dalam kerja sama perpajakan antarnegara dengan kerja sama memerangi penghindaran pajak melalui Base Erosion Profit Shifting (BEPS) dan Automatic Exchange of Information (AEOI), serta perpajakan ekonomi digital.
“Indonesia memanfaatkan kerja sama ini untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan meningkatkan basis pajak terutama pada kelompok “high wealth” yang selama ini mudah memanfaatkan tax haven dan kelonggaran regulasi antar negara,” kata dia.
Namun, masih banyak tantangan dunia yang belum terjawab dan risiko besar masih membayangi perekonomian dunia, di antaranya terkait lonjakan utang di negara maju dan berkembang, serta korporasi. Ia bersyukur tingkat dan rasio utang Indonesia rendah dan terjaga. Tapi, diperlukan kehati-hatian dalam kebijakan fiskal dan upaya memperdalam sektor keuangan untuk menjaga stabilitas perekonomian domestik dan menghindari gejolak global.
Terkait perang dagang antarnegara, ia menyebut muncul keinginan G20 untuk melakukan reformasi multilateral World Trade Organization. “Indonesia harus menyiapkan materi dan posisi yang jelas dan negosiator yang unggul dalam menghadapi era perang dagang bilateral dan melemahnya mekanisme solusi multilateral yang makin kompleks,” kata dia.
(Baca juga: Perang Dagang Mereda Sementara, Seluruh Indeks Asia Menghijau)
Sementara itu, ancaman dan peluang digital ekonomi terhadap kesempatan dan jenis kerja di masa depan terus menjadi perhatian G20. Begitu juga dengan implikasinya terhadap kebijakan ketenagakerjaan, jaring pengaman sosial, dan perpajakan.
Ia pun mengatakan, globalisasi dan kemajuan teknologi akan memberikan banyak kesempatan untuk maju dan mengejar ketertinggalan. Namun, menyajikan juga kerumitan dalam mengelola perekonomian dan sosial suatu negara. Maka itu, Indonesia harus makin keras dan cerdas dalam membangun perekonomian.
Atas dasar itu, ia menilai fokus Presiden Joko Widodo untuk membangun kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur adalah benar, untuk pemerataan dan peningkatan produktivitas dan daya kompetisi Indonesia.