Pemegang Obligasi Setuju Konversi Utang Express Rp1 Triliun Jadi Saham
PT Express Transindo Utama Tbk (TAXI) mendapatkan restu dari pemegang obligasi untuk merestrukturisasi utang kepada para kreditor Obligasi I Tahun 2014 senilai Rp 1 triliun. Sebanyak 91% pemegang obligasi yang hadir dalam Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO), menyetujui langkah perusahaan tersebut.
Adapun, dalam RUPO ini, pemegang obligasi yang hadir sebanyak 84% dari total pemegang obligasi atau setara dengan Rp 840 miliar. Dari total pokok obligasi sebesar Rp 1 triliun tersebut, perusahaan berkode emiten TAXI ini akan membayar obligasi tersebut menggunakan dua skema yang telah disetujui dalam RUPO.
"Rencana restrukturisasi telah disetujui sehingga perusahaan ini akan fokus mengikuti apa yang diputuskan sesuai agenda restrukturisasi," kata Direktur Utama Exspress Benny Setiawan usai RUPO yang dilaksanakan di Ibis Hotel Jakarta, Selasa (11/12).
Pertama, senilai Rp 400 miliar dari pokok obligasi akan dikonversi menjadi saham emiten dengan nilai konversi saham sesuai ketentuan yang berlaku. Meski sudah mendapatkan lampu hijau, Express masih harus mendapat persetujuan dari pemegang saham dengan menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebelum konversi tersebut dapat terlaksana.
Rencananya, Express akan menggelar RUPS pada minggu pertama atau kedua di bulan Februari 2019. Jika disetujui, maka konversi akan terwujud satu bulan kemudian meski baru bisa diperdagangkan satu tahun kemudian. Untuk jumlah lembar saham baru yang akan diterbitkan, Benny belum bisa berkomentar karena perhitungan harga per lembar saham baru bisa dilakukan saat pengumuman hasil RUPS tersebut.
Berdasarkan peraturan bursa, harga saham konversi ini adalah rata-rata harga saham 25 hari sebelum pengumuman hasil RUPS. "Itu masih belum bisa dihitung. Nanti waktu pemanggilan (RUPS) baru bisa dihitung berapa jumlah saham baru yang diterbitkan," kata Benny menjelaskan.
(Baca : Kelangsungan Usaha Taksi Express di Tangan Para Kreditor)
Adapun, saham TAXI saat ini sedang disuspen oleh pihak bursa karena gagal bayar bunga ke-16 obligasi ini pada 22 Juni lalu. Namun, Benny percaya, dengan disetujuinya langkah restrukturisasi melalui RUPO ini, suspen perdagangan saham mereka akan kembali dibuka setelah mereka menyampaikan hasil RUPO ini kepada pihak Bursa.
Langkah konversi utang obligasi selanjutnya yang dilakukan yaitu dengan melakukan konversi obligasi tanpa bunga sebesar Rp 600 miliar dengan tanggal jatuh tempo pada 31 Desember 2020. Pokok obligasi ini diamortisasi setiap tiga bulan sesuai dengan jumlah hasil penjualan jaminan berupa tanah dan kendaraan bermotor. Namun, jika masih terdapat sisa pokok obligasi yang belum dibayarkan hingga jatuh tempo, maka sisanya akan dikonversi menjadi saham.
Benny mengatakan, jika dari penjualan aset tersebut melebihi angka Rp 600 miliar, maka kelebihan tersebut tetap dikembalikan ke pemegang obligasi yang kemungkinan akan menjadi insentif kepada pemegang obligasi. "Tapi kita upayakan 600 miliar ini memang lunas. (Hasil penjualan aset) bisa lebih besar atau kecil, tergantung perusahaan mengelola penjualan yang diawasi oleh wali amanat," kata Benny.
Adapun, aset berupa tanah diperkirakan bernilai hanya 10% dari total aset yang dijaminkan oleh Express. Sementara 90% sisanya merupakan aset kendaraan. Untuk harga penjualan aset-aset tersebut, Benny mengatakan akan mengikuti patokan harga yang dikeluarkan oleh Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP) yang tiap tahun akan dinilai kembali.
Untuk dapat mendapatkan harga yang lebih tinggi dari nilai pokok Rp 600 miliar, Benny menyatakan akan menggunakan strategi agar penjualan aset, terutama kendaraan bermotor, bisa mendapatkan harga tinggi. Mereka akan bekerja sama dengan pihak-pihak seperti balai lelang, showroom, ataupun distributor mobil-mobil bekas. "(Harga KJPP) itu adalah nilai acuan. Perusahaan akan berupaya untuk mendapatkan nilai terbaik," katanya.
Express telah dua kali menunda pembayaran bunga Obligasi I 2014, yakni kupon ke-15 yang jatuh tempo 26 Maret 2018 dan kupon ke-16 yang jatuh tempo pada 22 Juni 2018, masing-masing Rp 23 miliar. Penundaan pembayaran kupon obligasi terjadi karena perseroan kesulitan likuiditas.
(Baca juga: Grab Klaim Kuasai 65% Pasar Transportasi Online Indonesia)