Hambatan Nontarif Masih Jadi Kendala Ekspor ke Kawasan Eropa
Indonesia telah meneken perjanjian perdagangan ekonomi komprehensif dengan European Free Trade Association (EFTA). Meski sejumlah komoditas mendapatkan pembebasan tarif, pengusaha menyebut Indonesia masih mengadapi kendala eksor ke ke Swiss, Liechtenstein, Norwegia, serta Islandia, khususnya pada hambatan nontarif (non-tariff barrier) .
Ketua Komite Tetap Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono mengatakan pembebasan tarif tak cukup untuk menyelesaikan kendala ekspor. "Masalah non-tariff barrier, dengan CEPA (kerja sama ekonomi kompeherensif) besar harapan ini akan banyak membantu," kata Handito di Jakarta, Minggu (16/12).
Salah satu sektor yang kerap mendapatkan hambatan dagang nontarif yaitu produk minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) Indonesia. Dalam EFTA, meskipun Islandia dan Norwegia memberikan akses penuh, namun tetap ada pengecualian produk sawit tujuan pakan ternak selain untuk ikan.
(Baca: Perjanjian Dagang RI - Eropa Diteken, Ribuan Tarif Bea Masuk Dihapus)
Swiss juga telah memberikan akses pasar dan pembebasan bea masuk untuk CPO, meski disertai sejumlah syarat, seperti bea masuk sawit hanya ditujukan untuk pakan ternak, tujuan teknis, serta kepentingan re-ekspor. Selain itu, ekspor sawit juga dibatasi dengan kuota 10.000 ton untuk stearin, kernel, dan produk sawit turunan lainnya. Kenaikan kuota hanya disebrikan sebesar 5% setiap tahun hanya sampai tahun kelima pelaksanaan EIF.
Swiss juga akan memberikan perlakuan yang sama kepada Indonesia apabila memberikan preferensi yang lebih baik kepada negara produsen CPO lainnya di masa mendatang, termasuk Malaysia. Preferensi yang diberikan Swiss disertai syarat aspek keberlanjutan dan transportasi dalam kontainer dengan ukuran maksimal 22 ton.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengungkapkan konsumsi CPO di EFTA tak begitu besar dengan nilai di bawah US$ 50 juta per tahun, Namun, dengan terbukanya pasar Eropa menjadi pembuktian kelapa sawit Indonesia sudah diterima. "CPO yang kita ekspor pasti sustainable sehingga tidak ada alasan untuk negara Eropa lain tidak untuk menerima produk asal Indonesia," ujar Joko.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani juga mengatakan Indonesia masih memiliki hambatan dagang ekspor produk Indonesia antara lain berupa Technical Barries to Trade (TBT) dan Sanitary and Phyto-Sanitary (SPS). Hambatan itu bisa teratasi dengan peningkatan daya saing produk Indonesia.
(Baca: Berunding 7 Tahun, RI - 4 Negara Eropa Akan Teken Perjanjian Dagang)
Karena itu, investasi bisa menjadi salah satu solusi untuk membangun kapasitas industri dalam negeri agar lebih berdaya saing agar bisa memenuhi permintaan pasar internasional. "Penting bagi pelaku usaha karena Indonesia mau mengembangkan industri manufaktur, tetapi masih ada kesenjangan sumber daya manusia antara tenaga ahli yang dibutuhkan industri dengan ketersediaannya," kata Shinta.
Dia pun berharap, Indonesia dan EFTA segera melakukan ratifikasi untuk menyesuaikan peraturan perundangan masing-masing pihak. Sebab, di antara perjanjian itu terdapat skema pengembangan kapasitas dan kerja sama di sektor promosi ekspor, pariwisata, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Hak Kekayaan Intelektual (HKI), kakao dan kelapa sawit, pendidikan vokasional, industri maritim, serta perikanan.
Tarik Investasi
Adapun kerja sama ini diharapkan bisa menarik investasi langsung dari negara EFTA, di antaranya seperti di bidang keuangan dan perbankan (Liechtenstein dan Swiss); telekomunikasi (Norwegia); farmasi, kimia dan plastik (Islandia dan Swiss); ekstraksi pertambangan dan migas (Norwegia); energi panas bumi (Islandia); serta manufaktur dan jasa logistik (Swiss dan Norwegia).
Namun Handito Juwono menyebut pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah, khususnya dalam menciptakan peluang untuk menarik investasi di Indonesia dan bekerja sama untuk meningkatkan produk ekspor.
Padahal CEPA bisa menjadi pintu masuk untuk menarik investasi asing. Dengan masuknya investasi, harapannya hal ini bisa mendorong pertumbuhan industri hingga menghasilkan barang bernilai tambah tinggi akhirnya meningkatkan ekspor industri manufaktur, melebihi ekspor berbasis komoditas.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sepanjang Januari-September 2018, EFTA secara agregat merupakan investor terbesar ke-14 Indonesia senilai US$ 212 juta dengan 215 proyek investasi. Angka itu jauh menurun dibandingkan investasi EFTA tahun lalu yang sebesar US$ 621 juta.
"Saya berharap kesepakatan perjanjian EFTA akan melahirkan investasi di Indonesia. Dari sana baru ada peningkatan ekspor," katanya.
Sementara itu, Vice President Director PT Pan Brothers Tbk Anne Patricia Sutanto berharap dari pasar EFTA, pengusha bisa menangkap potensi ekspor untuk produk garmen, tekstil, dan alas kaki.
Menurutnya, meskipun pasar EFTA kecil, bakal ada peningkatan ekspor tekstil sampai sebesar 20% dengan pembebasan tarif setelah ratifikasi. "Memang belum signifikan, tetapi Indonesia secara global telah membuktikan untuk menjadi mitra dagang yang bersifat sustainable," kata Anne.
Karenanya, dia pun berharap, negara yang tergabung dalam EFTA bisa menjadi hub untuk ekspor ke negara lain di Uni-Eropa.
Sementara itu, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Rifky Effendi Hardijanto mengungkapkan dari kerja sama dnegan negara EFTA, akan ada pertukaran hasil laut, berupa salmon dari EFTA dan udang asal Indonesia. Udang pun digadang-gadang bakal menjadi komooditas andalan ke Islandia, di samping jenis komoditas lain seperti minyak kelapa mentah, dan kopi.
EFTA juga bakal menghilangkan pemeriksaan teknis kecuali permintaan secara khusus dari konsumen. Dengan pembebasan tarif udang, maka komoditas laut ini akan menjadi lebih kompetitif produk Indonesia dengan pasar lain di Eropa. Saat ini, Indonesia merupakan eksportir udang ke Uni-Eropa nomor 16 dengan nilai hanya US$ 84 juta dari total US$ 6 miliar.
Rifky berharap EFTA jadi pintu masuk sehingga ada peningkatan mencapai US$ 300 juta atau mencapai tiga kali lipat lebih. KKP juga akan melakukan pembenahan di sektor hulu supaya ketersediaan bahan baku tejamin. "Nantinya kami akan jadikan rencana strategis nasional," ujarnya.
Butuh Waktu
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita penandatangan kerja sama ekonomi dengan negara EFTA tak hanya berpeluang membuka pasar baru, tetapi juga menarik investasi gterutama di sektor industri. Dengan meningkatnya investasi ini, maka harapannya bisa mendorong industri manufaktur berbasis ekspor.
Beberapa komoditas yang menjadi produk jadi adalah sektor makanan dan minuman berbahan baku cokelat dan kayu untuk furnitur. Sebab, investasi di sisi lain juga dilakukan sebagai salah satu cara investor untuk menjaring pasar Indonesia. "Tetapi, tidak semudah itu karna mereka juga memerlukan pentrasi pasar," kata Enggar.
(Baca: Perang Dagang Diprediksi Bisa Berdampak dalam Jangka Menengah)
Pada salah satu bab investasi pada CEPA dengan EFTA mencakup pemberian akses pasar dan promosi sehingga tidak akan ada investor state dispute settlement (ISDS). Sehingga dalam kerja sama tersebut bisa tercipta iklim usaha yang terbuka dan stabil bagi para investor.
Deputi Bidang Kerjasama Penanaman Modal BKPM Wisnu Wijaya Soedibjo juga mengungkapkan investasi akan membawa dampak positif dari transfer teknologi dan pengetahuan sehinga dapat meningkatkan daya saing produk dan jasa domestik di pasar internasional. Selain itu, peningkatan investasi akan membuka kesempatan yang lebih luas bagi dunia usaha dan terciptanya lapangan kerja yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Yang pasti adanya pembukaan akses pasar, sedangkan proteksi investasi tetap menggunakan mekanisme bilateral investment treaty (BIT)," ujar Wisnu.