Kurs Rupiah Stabil Bisa Jadi Alasan BI Tahan Sementara Bunga Acuan
Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate pada Kamis (20/12) ini. Beberapa ekonom melihat kemungkinan bunga acuan tetap 6% lantaran nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) relatif stabil.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan nilai tukar rupiah sudah lebih kuat. Sementara itu, jumlah cadangan devisa November mengalami kenaikan US$ 2 miliar menjadi US$ 117,2 miliar.
"Ini jadi amunisi BI untuk stabilkan rupiah tanpa kerek bunga acuan," kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (20/12). Dengan cadangan devisa yang lebih tebal, BI dianggap memiliki keleluasaan untuk menjaga stabilitas rupiah lewat intervensi bila diperlukan.
(Baca juga: Pelemahan Terbatas Mata Uang Asia Setelah Kenaikan Bunga AS)
Menurut dia, sikap wait and see BI diperlukan lantaran bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), juga kemungkinan tidak akan menaikkan bunga acuannya, Fed Fund Rate, terlalu agresif tahun depan.
Nilai tukar rupiah mengalami penguatan tajam sepanjang November sebelum terhenti di awal Desember. Namun, nilai tukar rupiah terpantau masih cukup kuat di bawah Rp 15.000 per dolar AS.
Rupiah juga tidak terlalu banyak melemah pada perdagangan Kamis (20/12), meskipun The Fed baru saja mengumumkan kenaikan Fed Fund Rate keempat kalinya tahun ini. Bhima menilai gejolak di pasar keuangan, termasuk nilai tukar rupiah tidak berlebihan lantaran keputusan tersebut sudah diantisipasi pasar.
(Baca juga: Peluang Kembali Mengalirnya Dana Asing di Tengah “Melunaknya” The Fed)
Senada dengan Bhima, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai kondisi eksternal dalam jangka pendek sedang membaik. Kenaikan terbaru Fed Fund Rate pun sudah dalam ekspektasi pasar sehingga rupiah bergerak lebih stabil. "Jadi mungkin (bunga acuan BI) belum perlu naik," ujarnya.
Namun, dalam jangka menengah, David menilai BI perlu menaikkan bunga acuannya lantaran defisit transaksi berjalan pada triwulan IV diperkirakan masih tinggi. Dengan demikian, perlu kerja keras untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke target 2,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun depan.
Berbeda pendapat, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam memperkirakan BI akan menaikkan kembali bunga acuannya, meskipun rupiah sudah lebih kuat sekarang ini. "BI akan mengikuti (The Fed)," kata dia.
Alasannya, BI tetap harus menjaga selisih bunga acuannya dengan Fed Fund Rate (interest rate differential) agar tidak terjadi arus keluar modal asing dari pasar keuangan. Dengan demikian, posisi nilai tukar rupiah diharapkan dapat terjaga.
(Baca juga: Defisit Besar Neraca Dagang, Ekonom Prediksi Bunga Acuan BI Naik)
Beberapa ekonom lainnya, di antaranya Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan juga memprediksi BI akan kembali menaikkan bunga acuannya. Keputusan tersebut untuk meredam defisit transaksi berjalan yang diprediksi masih besar pada kuartal IV tahun ini, yaitu sekitar 3,5% terhadap PDB atau di atas batas aman yaitu 3% terhadap PDB.
Adapun sepanjang tahun ini BI telah mengerek secara agresif bunga acuannya sebanyak 175 basis poin hingga ke level 6%. Terakhir kali, kenaikan dilakukan pada November lalu. Tujuannya, mengantisipasi kenaikan bunga acuan AS pada Desember sekaligus mengendalikan defisit transaksi berjalan.