Faisal Basri Soroti Impor Pangan & Baja Penyebab Defisit Neraca Dagang

Martha Ruth Thertina
16 Januari 2019, 16:31
Pelabuhan ekspor
Katadata

Neraca perdagangan mengalami defisit terbesar sepanjang sejarah pada 2018 lalu. Lonjakan defisit perdagangan minyak dan gas (migas) disebut sebagai biang keladi. Namun, Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri melihat biang keladi sebetulnya justru pada anjloknya surplus perdagangan nonmigas imbas lonjakan impor di sektor tersebut.

Dalam tulisannya yang berjudul “Neraca Perdagangan Cetak Rekor Terburuk & Benalu di Lingkungan Dekat Presiden”, Faisal menjelaskan, jika ditelusuri lebih seksama, penyebab utama lonjakan defisit neraca perdagangan ternyata adalah kemerosotan tajam surplus perdagangan nonmigas.

Bila defisit perdagangan migas tercatat melambung 44,2% dari US$ 8,6 miliar pada 2017 menjadi US$ 12,4 miliar pada 2018, surplus neraca perdagangan nonmigas tercatat anjlok 81,4% dari US$ 20,4 miliar pada 2017 menjadi hanya US$ 3,8 miliar pada 2018.

Surplus perdagangan nonmigas yang terpangkas sangat dalam bukan disebabkan oleh penurunan ekspor seperti terjadi pada 2013. “Pada tahun 2018, (secara total) ekspor justru masih mencatatkan pertumbuhan sebesar 6,7% dibandingkan tahun sebelumnya,” kata dia.

(Baca: Terbesar Sepanjang Sejarah, Neraca Dagang 2018 Defisit US$ 8,57 Miliar)

Problemnya, terletak pada impor yang meningkat pesat yaitu secara total 20,2% atau tiga kali lipat dari pertumbuhan ekspor. Tidak hanya impor migas yang melonjak yaitu sebesar 22,2%, tapi juga impor nonmigas yaitu sebesar 19,7%.

Lantas, apa penyebab lonjakan impor? Faisal menjelaskan kondisi perekonomian tidak mengalami pemanasan (overheating) karena pertumbuhan ekonomi tidak beranjak dari sekitar 5%, sehingga tidak ada alasan kuat impor melonjak. Apalagi, 90% impor merupakan bahan baku dan barang modal. Selain itu, tidak terjadi pula lonjakan impor barang konsumsi.

Di sisi lain, gencarnya pembangunan infrastruktur memang membutuhkan alat berat dan bahan baku tertentu yang diimpor. Namun, pembangunan infrastruktur yang masif telah berlangsung selama tiga sampai empat tahun, bukan baru terjadi tahun lalu.

(Baca: Darmin Sebut Orang Miskin Berkurang Berkat Infrastruktur dan Bansos)

“Niscaya ada penyebab khusus yang mengakibatkan lonjakan tahun lalu,” kata dia. Ia pun menengarai adanya beberapa kebijakan yang turut menyebabkan lonjakan besar impor. Misalnya, kebijakan yang terkait impor besi baja, gula, beras, hingga garam.

Ia menyinggung ketentuan impor baja yang menghapuskan syarat rekomendasi impor dari Kementerian Perindustrian dan memindahkan pengawasan besi/baja keluar kepabeanan. Ketentuan itu disebutnya ibarat “jalan tol” bagi impor besi/baja, memuluskan arus masuk baja impor–termasuk yang berkualitas rendah–sehingga mengakibatkan masalah level of playing field bagi produsen baja domestik.

Menurut dia, aturan serupa juga diberlakukan untuk impor ban, sehingga pertumbuhan impor ban melonjak lebih dari 100%. Beberapa produk lainnya juga memperoleh fasilitas kemudahan impor sehingga banyak dikeluhkan produsen di dalam negeri.

Selanjutnya, Faisal membahas soal obral lisensi impor raw sugar yang menjadi bahan baku gula rafinasi. Berdasarkan data statistik Statista, Indonesia merupakan pengimpor gula terbesar di dunia. Data ini, menurut dia, terkonfirmasi oleh data International Trade Center (ITC) yang berada di bawah World Trade Organization (WTO), USDA (United States Department of Agriculture), dan BPS.

Ia membeberkan, dari data BPS, impor gula (HS 1701) Indonesia melonjak sejak 2009 dan meroket pada 2016. Hingga November 2018, impor gula sudah mencapai 4,63 juta ton, sehingga untuk keseluruhan tahun 2018 sangat berpeluang memecahkan rekor tertinggi baru untuk impor gula.

Ia menyadari, produksi gula nasional yang berbasis tebu memang jauh dari mencukupi kebutuhan gula nasional. Namun, obral lisensi impor raw sugar di dalam negeri melampaui kebutuhan industri makanan dan minuman. Apalagi, sesuai ketentuan yang berlaku, gula rafinasi hanya boleh dijual ke produsen industri makanan dan minuman.

(Baca: Heboh Indonesia Jadi Importir Gula Terbesar Dunia Jelang Pemilu)

Pemerintah pun pernah mengatakan bahwa gula rafinasi tidak baik untuk kesehatan dan oleh karena itu melarangnya untuk dijual sebagai gula konsumsi masyarakat. “Belakangan justru pemerintah menggunakan gula rafinasi untuk operasi pasar demi menjaga laju kenaikan harga gula enceran sebagai salah satu cara untuk menjaga laju inflasi,” kata dia.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...