Pembebasan Baasyir Hanya Bisa Dilakukan Jika Presiden Ubah UU
Pembebasan terhadap terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir hanya bisa dilakukan jika pemerintah mengubah peraturan perundang-undangan. Baasyir tak mungkin diberikan pembebasan murni lantaran putusan kasusnya sudah sampai ke tingkat kasasi.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai, pembebasan murni hanya bisa diberikan melalui putusan pengadilan tingkat pertama, yang membuktikan orang tersebut tidak bersalah. "Dia sudah dihukum, masa mau bebas murni," kata Mahfud di Kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Selasa (22/1).
Saat ini, tidak ada regulasi yang bisa membebaskan Baasyir dari penjara. Jika ingin dibebaskan bersyarat, Baasyir harus sudah menjalani dua pertiga masa hukumannya. Baasyir sebelumnya dihukum penjara selama 15 tahun pada 2011 karena terbukti menjadi perencana dan penyandang dana pelatihan kelompok bersenjata di pegunungan Jantho, Aceh pada 2010.
Mahfud menilai, masih perlu dua tahun lagi untuk Baasyir bisa memenuhi syarat tersebut. "Belum lagi harus ada asimilasi kan, pembinaan yang dilakukan pemerintah, dia harus ikuti dulu itu syaratnya," kata dia.
Pembebasan tanpa syarat bisa dilakukan kepada Baasyir setelah masa hukumannya habis. Namun, perlu keputusan pengadilan yang baru untuk membebaskan Baasyir tanpa syarat. Selain itu, bebas tanpa syarat dapat diberikan jika Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Baasyir diterima oleh Mahkamah Agung (MA).
Mahfud menilai banyak syarat-syarat yang diperlukan untuk membebaskan Baasyir melalui amnesti. "Kecuali mau mengubah peraturan untuk keperluan Abu Bakar Baasyir. Presiden bisa mengeluarkan Perppu, mengubah Undang-Undang itu," kata Mahfud.
(Baca: Jokowi Syaratkan Abu Bakar Baasyir Setia Pancasila untuk Bisa Bebas)
Tak Mau Penuhi Syarat
Presiden Joko Widodo sebelumnya berencana membebaskan Baasyir pekan ini. Pembebasan tersebut berdasarkan pertimbangan kemanusiaan karena usia Baasyir yang sudah lanjut dan kondisi kesehatan yang semakin menurun.
Hanya saja, rencana pembebasan Abu Bakar Baasyir terkendala dua persyaratan yang belum disetujui oleh terpidana kasus terorisme tersebut. Kedua prasyarat yang dimaksud adalah pernyataan untuk setia kepada NKRI dan Pancasila, serta mengakui dan menyesali tindakan pidana yang dilakukan.
Ketua Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM) Mahendradatta mengatakan, soal setia pada Pancasila dan NKRI, Baasyir beralasan belum ada argumentasi yang memuaskan mantan pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki tersebut. Penasihat hukum Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, sempat membujuk Baasyir dengan mengatakan Islam dan Pancasila tidak bertentangan.
Namun, Baasyir tetap berkukuh dengan pendapatnya. Sedangkan untuk poin penyesalan, Baasyir tidak mau mengakuinya. "Biarpun beliau dipenjara, namun tidak mau mengakui pidana," kata Mahendradatta.
Untuk itu, pemerintah saat ini tengah mengkaji kembali rencana pembebasan Baasyir. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Wiranto mengatakan, Presiden Jokowi tidak ingin terburu-buru untuk mengambil keputusan lantaran banyak aspek yang perlu dipertimbangkan. "Presiden bilang tidak boleh grusa-grusu (terburu-buru) dan serta-merta mengambil keputusan," kata Wiranto dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (21/1) malam.
(Baca: Baasyir Tolak Dua Syarat Kebebasan: Setia Pancasila dan Akui Kesalahan)