Pelemahan Ekonomi Tiongkok Mengancam Ekspor CPO dan Batu Bara RI

Michael Reily
23 Januari 2019, 06:00
Pelabuhan Bitung
Dok. KPPIP
Proyek strategis pemerintah Pelabuhan Bitung, merupakan Proyek Strategis Nasional di Provinsi Sulawesi Utara (KEK Bitung dan Pelabuhan Internasional Hub Bitung) senilai Rp 34 triliun dan juga Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung dengan nilai investasi diperkirakan sekitar Rp 35 triliun.

Pelemahan pertumbuhan ekonomi Tiongkok mengancam ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan batu bara asal Indonesia. Sebagai tujuan ekspor terbesar,  pemerintah turut memberi perhatian khusus pada laju pertumbuhan ekonomi Negeri Panda yang turun jadi 6,6% sepanjang 2018.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan menyatakan ekspor Indonesia bergantung pada permintaan global, salah satunya Tiongkok sebagai pasar yang cukup besar. Sehingga, perkembangan ekonomi internasional sangat mempengaruhi kinerja perdagangan.

Advertisement

"Melemahnya perekonomian Tiongkok tentu akan berdampak pada permintaan barang yang berasal dari Indonesia, terutama komoditas berupa bahan baku seperti CPO dan batu bara," kata Kasan dalam pesan singkat kepada Katadata.co.id, Selasa (22/1).

(Baca: Tumbuh 6,6%, Ekonomi Tiongkok Sentuh Level Terendah dalam 28 Tahun)

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor barang mineral dalam HS 27 pada 2018 naik sebesar 14,39 menjadi US$ 6,057 miliar pada 2018 dari tahun sebelumnya sebesar US$ 5,295 miliar. Sedangkan, ekspor bahan bakar nabati HS 15 tercatat  sebesar US$ 3,258 miliar, turun 0,12% dari 3,254 miliar pada periode yang sama.

Dia menjelaskan,  ekspor komoditas Indonesia berpotensi menurun sejalan dengan  turunnya aktivitas produksi manufaktur di Tiongkok. Pada 2018, Tiongkok merupakan tujuan ekspor nonmigas terbesar Indonesia dengan pangsa mencapai 15% dari total ekspor.

Untuk mengantisipasi melemahnya permintaan Tiongkok, pemerintah telah menyiapkan sejumlah langkah, antara lain dengan penetrasi atau pengalihan ekspor kepada pasar nontradisional. "Kami akan lebih gencar memoerluas pasar ekspor untuk mengkompensasi kemungkinan perlambatan ekspor ke Tiongkok," ujarnya.

Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai perlambatan ekonomi terjadi karena perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS). Alasannya, kedua negara merupakan kekuatan ekonomi besar di dunia sekaligus mitra dagang utama.

Wakil Ketua Umum Apindo Bidang Perdagangan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menjelaskan, selama normalisasi perang dagang belum terjadi, permintaan Tiongkok terhadap produk Indonesia akan tetap melambat. "Ini berarti persaingan Indonesia dengan negara penyuplai komoditas ke Tiongkok lain akan semakin ketat," kata Shinta.

Dengan begitu menurutnya ada tiga opsi yang dapat pemerintah lakukan. Pertama, peningkatan daya saing ekspor. Sebab, Indonesia dinilai perlu lebih efisien dalam proses produksi dan meningkatkan produktivitas industri dengan kemudahan untuk pelaku usaha.

Selain itu, pemerintah harus membentuk tim khusus untuk mengidentifikasi kendala pelaku usaha untuk melakukan penjualan barang ke Tiongkok. Apindo menyebut masih banyak hambatan nontarif yang menghambat ekspor produk Indonesia.

(Baca: IMF: Prospek Ekonomi Melemah, Bukan Tanda Resesi Global)

Kedua, intensifikasi perdagangan dengan membuka pasar baru. Pengusaha meminta pemerintah untuk melakukan komunikasi intens kepada pelaku usaha untuk preferensi perdagangan dengan negara-negara potensial. "Keterlibatan pelaku usaha bisa membuat pilihan pasar lebih efektif dan akses informasi semakin luas," ujarnnya.

Halaman:
Reporter: Michael Reily
Editor: Ekarina
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement