IHSG Bergerak Positif Jelang Negosiasi Lanjutan Dagang AS-Tiongkok
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 0,17% ke level 6.447,38 pada pembukaan perdagangan hari ini, Rabu (30/1) dari posisi penutupan perdagangan kemarin yang ditutup turun ke level 6.436,48. IHSG sempat turun ke level 6.435,42 sepuluh menit setelah perdagangan dimulai, namun kembali merangkak naik hingga ke level 6.464,78.
Sementara itu bursa saham di regional Asia lainnya sejauh ini bergerak bervariatif. Indeks Strait Times, Hang Seng, dan Kospi kompak naik. Strait Times sementara ini naik 0,11%, Hang Seng naik 0,22%, dan Kospi naik 0,40%. Lainnya, indeks Shanghai dan KLCI terkoreksi tipis masing-masing 0,01% dan 0,08%, Nikkei koreksi o,53%, dan PSEi turun 0,96%.
Analis Reliance Sekuritas Indonesia Lanjar Nafi menilai secara teknikal, IHSG berpotensi kembali terkoreksi sehingga diperkirakan IHSG masih akan bergerak dengan level support- resistance di 6.371-6.459. Namun, Analis Indosurya William Surya Wijaya memperkirakan tren kenaikan IHSG belum berakhir, mengingat posisi saat ini masih di awal bulan tahun 2019.
Menurut William, tren kenaikan ini telah terbentuk cukup kuat ditopang oleh aliran masuk modal asing yang masih terus mengalir deras. Dengan aliran masuk modal asing ini ada kemungkinan IHSG untuk naik ke level tertingginya sepanjang masa yang baru semakin terbuka lebar. "Tentunya juga ditunjang oleh sisi fundamental perekonomian yang kuat, hari ini peluang naik masih terlihat dalam pergerakan IHSG intraday," katanya.
(Baca: IHSG Terkoreksi 0,34% Dipicu Kekhawatiran Eskalasi Perang Dagang)
Sementara itu mulai ramainya emiten yang merilis laporan keuangannya untuk tahun buku 2018 diharapkan dapat menjadi katalis yang dapat mendorong kenaikan IHSG. Namun, perkembangan sentimen eksternal seputar lanjutan perundingan lanjutan antara Amerika Serikat dan Tiongkok pada 30-31 Januari 2019 di Washington DC, AS, waktu setempat lebih banyak mewarnai pergerakan IHSG dan bursa saham Asia.
Perundingan tersebut diprediksi tidak akan berjalan dengan mudah karena AS sudah menjatuhkan tuntutan hukum resmi kepada Huawei dan sejumlah anak usahanya yang diduga telah melanggar sanksi ekspor ke Iran, dan dugaan pencurian kekayaan intelektual dari perusahaan asal AS, T-Mobile.
Dalam dakwaannya, Departemen Kehakiman AS mengatakan Huawei telah menyesatkan sebuah bank global dan otoritas AS mengenai hubungannya dengan anak usaha, Skycom dan Huawei Device USA, demi menjalankan bisnis di Iran. Untuk itu, pihak AS saat ini tengah mengupayakan ekstradisi petinggi Huawei, Chief Financial Officer (CFO) Meng Wanzhou, yang saat ini menjadi tahanan rumah di Kanada.
Jika perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, AS telah menyiapkan tarif baru terhadap komoditas asal Tiongkok yang masuk ke pasarnya senilai US$ 200 miliar. Jika hal itu terjadi, pihak Tiongkok dipastikan akan membalas dengan kenaikan tarif impor komoditas asal AS.
(Baca: Kisruh Huawei Memanas, IHSG dan Bursa Asia Kompak Terkoreksi)
Padahal, tidak hanya ekonomi kedua negara tersebut yang melemah karena dampak perang tarif, tapi ekonomi seluruh dunia merasakannya. International Monetary Fund (IMF) telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 0,2% tahun ini dan 0,1% tahun depan. Sehingga kekhawatiran melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia semakin memengaruhi keputusan investasi investor.
Volume perdagangan hingga berita ini ditulis tercatat sebanyak 8,16 miliar unit saham dengan nilai transaksi sebesar Rp 17,30 triliun. Ada 198 saham yang berada di zona hijau, namun ada 164 saham yang terkoreksi sejauh ini, sedangkan 113 saham lainnya stagnan. Sedangkan innvestor asing melakukan aksi beli bersih pada seluruh pasar senilai Rp 14,33 miliar.