Banyak Faktor Sebabkan Imbal Hasil Surat Utang RI Tertinggi di Asia
Imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) Indonesia paling tinggi dibandingkan surat utang milik banyak negara di kawasan Asia Pasifik. Para ekonom melihat tingginya yield surat utang Indonesia tidak semata terkait dengan risiko investasi.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Febrio Kacaribu menjelaskan yield yang tinggi lebih merupakan kabar buruk daripada kabar baik. Yield SUN yang tinggi mencerminkan risiko yang masih tinggi. Risiko itu tercermin dari peringkat (rating) utang yang diberikan lembaga pemeringkat internasonal.
“Rating kita BBB- sementara Vietnam misalnya BB-,” kata dia kepada katadata.co.id, beberapa waktu yang lalu. Namun, selain itu, ada faktor lainnya yaitu kebutuhan utang/pinjaman yang lebih besar.
(Baca: Prabowo Tuduh Menteri Pencetak Utang, Sri Mulyani Jawab dengan Puisi)
Mengacu pada data Asianbondsonline, yield SUN tenor 10 tahun sebesar 7,89%. Ini lebih tinggi dibandingkan yield sederet surat utang tenor yang sama milik negara Asia Pasifik lainnya seperti Filipina 6,26%; Vietnam 4,86%; Malaysia 4,07%; Tiongkok 3,15%; Thailand 2,37%, Singapura 2,15%, Korea Selatan 1,98%, Hong Kong 1,83%, dan Jepang -0,01%.
Beberapa waktu lalu, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri juga sempat membahas tentang yield SUN. Menurut dia, premi risiko atau premium risk Indonesia masih relatif besar. Untuk turun, butuh waktu penyesuaian. "Ini soal adjustment (penyesuaian). Mereka (pelaku pasar) punish (menghukum) negara berkembangnya terlalu besar," kata dia.
Ia pun memperhitungkan, dengan imbal hasil surat utang AS, US treasury tenor 10 tahun di sekitar 2,7%, kemudian swap sekitar 4% dan margin 1%, semestinya yield SUN tenor 10 tahun di sekitar 7,7%. Adapun, yield SUN saat ini sudah semakin mendekati level ini. Sebelumnya, Yield SUN sempat berbulan-bulan bertengger di kisaran 8%, bahkan sempat mendekati 9%.
(Baca: Gencar di Awal Tahun, Penerbitan Surat Utang Negara 17,7% dari Target)
Namun, bila dibandingkan dengan beberapa surat utang negara Asia Pasifik lainnya, penurunan yield terpantau masih kecil, meskipun bukan yang terkecil. Sepanjang tahun ini, (year to date) penurunan hanya 13,2 basis poin, lebih kecil dibandingkan yield surat utang Filipina yang turun 80,9 basis poin, dan Vietnam 27 basis poin.
Adapun Chatib menyebut, masih ada beberapa risiko yang membayangi pergerakan yield SUN, di antaranya defisit transaksi berjalan. Adapun, kondisi defisit menunjukkan tidak seimbangnya pasokan dan permintaan valas domestik dalam aktivitas ekspor-impor. Risiko lainnya, kenaikan bunga acuan AS, Fed Fund Rate.
Di sisi lain, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan tingginya yield, secara teori, memang menunjukkan tingginya risiko. Tapi, dia kurang sependapat bila dikatakan risiko Indonesia lebih tinggi dibandingkan Vietnam.
(Baca: Imbal Hasil Surat Utang Naik-Turun, Pinjaman Luar Negeri Jadi Bantalan)
"Saya lebih berpendapat yield SUN terdorong tinggi mengikuti kenaikan suku bunga instrumen moneter yang bergerak sesuai kenaikan suku bunga acuan BI," kata dia. BI sendiri menaikkan suku bunga guna acuan untuk menjaga spread (selisih) dengan suku bunga internasional agar aliran modal asing tetap masuk. Dengan begitu, pasokan valas dari sisi ini terjaga sehingga rupiah tidak melemah.
Ia pun menjelaskan, dengan BI menaikkan suku bunga instrumen moneter maka investor berharap imbal hasil yang lebih tinggi untuk SUN. “SUN dengan tingkat kupon yang rendah akan jatuh harganya dan akan mendorong kenaikan yield,” ujarnya.