Kontroversi RUU Permusikan, Para Musisi Diminta Tak Saling Menjatuhkan
Kontroversi Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan belum juga berujung. Sejumlah kalangan masih mempersoalkan rencana aturan yang diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat tersebut. Para musisi diminta tak saling menjatuhkan.
Marcell Siahaan, misalnya, termasuk musisi yang menolak rancangan beleid tersebut. Menurut dia, bukan hanya pasal-pasal di dalam rancangan itu saja yang menimbulkan pro-kontra, tujuan undang-undangnya dinilai tidak jelas.
(Baca: Bekraf Akan Tolak Pasal Janggal di RUU Permusikan)
Pasal 5, misalnya, menurut Marcell terkesan mengekang kebebasan para pelaku musik dalam berkarya. “Kalau RUU ini untuk mengatur tata kelola musik, fokus di situ saja, jangan membatasi kreasi bermusik,” kata Marcell kepada Katadata.co.id di Jakarta.
Karena itu, semestinya DPR melakukan observasi dan diskusi lebih banyak lagi dengan para penggiat musik dalam merumuskan RUU Permusikan. Meski demikian, Marcell mengimbau agar di tengah polemik ini para musisi baik yang pro maupun kontra tidak saling menjatuhkan.
Sebab, jika kontroversi ini berujung tidak baik akan berdampak pada perkembangan industri musik di generasi berikutnya. “Industri musik ini bukan berlangsung untuk hari ini saja, tapi untuk anak cucu kita nanti,” ujarnya.
(Baca: Ratusan Musisi Kritik 19 Pasal dalam Rancangan UU Musik)
Sebelumnya, Ketua Konferensi Musik Indonesia (KAMI) Glenn Fredly menyatakan pembahasan aturan ini sudah mencuat sejak 2015. Waktu itu digelar rapat dengar pendapat DPR dengan para pelaku industri musik. Dua tahun mulai muncul pembahasan RUU Permusikan.
Ketika itu, beberapa anggota Dewan mulai menggelar serangkaian rapat dengan pegiat musik seperti penyanyi dan pelaku industri. Hasilnya, naskah akademik RUU Permusikan masuk meja Komisi X.
Dalam keriuhan seperti ini, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah membenarkan bahwa RUU Permusikan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Proglesnas) 2019. Tapi hingga kini belum dipastikan langkah selanjutnya. “Untuk dibahas lebih lanjut tahun ini mustahil karena ini tahun politik. RUU yang antri dalam pembahasan kami juga banyak sekali,” kata Fahri kepada Katadata.co.id, Jumat (8/2).
(Baca juga:Kontroversi 6 Pasal RUU Permusikan yang Ingin Dihapus oleh Musisi)
Pada tahun lalu, DPR RI dan pemerintah sepakat memasukkan sebanyak 45 rancangan undang-undang ke dalam Prolegnas 2019. Sejumlah 43 di antaranya merupakan draf regulasi lama yang belum selesai dibahas, sedangkan 12 lain adalah usulan baru.
Pasal-pasal Kontroversial RUU Permusikan
Koalisi penolak RUU Permusikan menyebut ada 19 pasal janggal dan enam di antaranya perlu dihapus, yaitu Pasal 5, 10,12, 13, 15, dan 20. Berikut ini bunyi enam pasal tersebut.
Pasal 5:
Dalam melakukan proses kreasi, setiap orang dilarang ;a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;b. memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan eksploitasi anak;c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, dan/atau antargolongan;d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai agama;e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum;f. membawa pengaruh negatif budaya asing;dan/atau g. merendahkan harkat dan martabat manusia.
Pasal 10:
(1) Pemerintah Pusat dan Daerah sesuai dengan kewenangannya memfasilitasi sarana dan prasarana untuk masyarakat dalam berkreativitas dan berinovasi di bidang musik. (2) Dalam memfasilitasi sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat pertama (1), Pemerintah Pusat dan Daerah dapat melibatkan pelaku usaha. (3) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat pertama (1) dapat memanfaatkan fasilitas dan/atau ruang yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan tempat lainnya sesuai kebutuhan dan tanpa mengubah fungsi utamanya.
Pasal 12:
(1) Pelaku usaha yang melakukan distribusi wajib memiliki izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Selain memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat pertama (1), pelaku usaha yang melakukan distribusi wajib memperhatikan etika ekonomi dan bisnis.
Pasal 13:
Pelaku usaha yang melakukan distribusi wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia pada kemasan produk musik yang didistribusikan ke masyarakat.
Pasal 15:
Masyarakat dapat memanfaatkan produk musik atau karya musik dalam bentuk fisik, digital, atau pertunjukan.
Pasal 20:
(1) Penyelenggaraan musik harus didukung oleh pelaku musik yang memiliki kompetensi di bidang musik. (2) Dukungan pelaku musik sebagaimana dimaksud pada ayat pertama (1) bertujuan mewujudkan sumber daya manusia yang profesional dan kompeten di bidang musik.