Genjot Sektor Pariwisata, Ini Usulan Kebijakan dari Ekonom & Pengusaha
Pengembangan sektor pariwisata menjadi salah satu kunci untuk perbaikan cepat defisit transaksi berjalan. Ekonom dan pelaku usaha mengusulkan alokasi anggaran yang lebih besar untuk pembangunan infrastruktur dasar, insentif keringanan pajak dan nonpajak, serta kerja sama antara pemain lokal dan investor guna pengembangan sektor ini.
Ekonom Bhima Yudhistira Adhinegara menyarankan agar pemerintah daerah lebih banyak mengalokasikan anggaran untuk belanja modal guna mendukung pembangunan infrastruktur dasar. Sebab, “Perbaikan jalan, penerangan, dan pembangunan bandara dengan kapasitas yang besar mendesak di destinasi wisata,” kata dia kepada katadata.co.id, beberapa waktu lalu.
(Baca: Gaet 20 Juta Wisatawan, Pemerintah Siapkan Stratagi Dorong Pariwisata)
Selain itu, ia mengusulkan beberapa insentif seperti kemudahan perizinan bagi maskapai yang membuka rute penerbangan ke bandara baru. Alternatif lainnya, insentif berupa penurunan biaya pendaratan (landing fee). "Ini bisa melalui penugasan ke Angkasa Pura," ujarnya.
Insentif lainnya, bisa dari sisi perpajakan. Ia mengusulkan insentif fiskal yang spesifik sehingga harga tiket lebih terjangkau bagi wisatawan mancanegara (wisman) dari beberapa negara.
Kemudian, fasilitas keringanan pajak berupa pengembalian pajak pertambahan nilai (PPN) atau value added tax (VAT) refund di bandara, toko suvenir, dan pusat perbelanjaan. Dengan begitu, minat belanja membesar. Ini bisa menjadi solusi cepat untuk mendatangkan devisa dari sektor pariwisata.
(Baca: Gaet Devisa Rp 281 T, Ini Strategi Pemerintah Genjot Empat Bali Baru )
Menurut dia, kebijakan VAT refond sudah diterpakan oleh Korea Selatan. Wisman di Negeri Ginseng bisa memeroleh fasilitas VAT refund di berbagai tempat. “Indonesia sebagai salah satu destinasi wisata turis asing bisa menerapkan hal yang serupa,” kata dia.
Adapun untuk jangka panjang, ia juga menekankan pentingnya peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) melalui sekolah vokasi.
Sementara itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan selain pembangunan infrastruktur dan dan fasilitas fiskal, pemerintah perlu memfasilitasi kerja sama antara pemain lokal dan investor untuk pengembangan pariwisata.
Kerja sama tersebut penting lantaran pengembangan sektor pariwisata membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membuat resor hingga pusat hiburan. Kerja sama itu juga bisa menambah keyakinan investor untuk berinvestasi.
"Terlebih lagi bila investor harus ‘berjudi’ untuk menginvestasikan dananya di lokasi baru yang masih jarang dikunjungi orang," ujarnya.
(Baca: Laju Ekonomi Bali dan Nusa Tenggara Melemah, Maluku dan Papua Menguat )
Defisit transaksi berjalan mencapai US$ 31,1 miliar atau 2,98% terhadap PDB, tahun lalu. Ini nyaris mendekati batas aman 3% PDB. Defisit sempat mencapai 3,18% PDB pada 2013, namun kemudian berangsur turun menjadi 2,95% pada 2014, lalu 2,03% pada 2015, kemudian 1,82% pada 2016, dan 1,6% pada 2017.
Defisit pada transaksi berjalan menunjukkan pasokan valuta asing (valas) dari ekspor barang dan jasa tak mampu menutup kebutuhan valas untuk impornya. Ini menjadi faktor pemberat kurs rupiah setiap terjadi pembalikan modal asing dari pasar keuangan domestik. Maka itu, pengendalian defisit transaksi berjalan jadi fokus pemerintah.
(Baca: BI Nilai Pariwisata Jadi Kunci Penyehatan Neraca Transaksi Berjalan)
Pengembangan sektor pariwisata pun disebut berbagai pihak sebagai solusi cepat untuk meredam defisit tersebut. Adapun berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI), sektor pariwisata menyumbang devisa sebesar US$ 14,11 miliar sepanjang 2018. Devisa ini tercatat dalam neraca transaksi berjalan sebagai ekspor perjalanan.
Jumlah sumbangan devisa tersebut terus meningkat. Pada 2017, sumbangannya tercatat sebesar US$ 13,1 miliar, sebelumnya pada 2016 sebesar US$ 11,2 miliar, dan 2015 sebesar US$ 10,76 miliar.