Pemerintah Kaji Harga Referensi CPO untuk Pungutan Ekspor
Pemerintah masih mengkaji penetapan harga referensi minyak kelapa sawit dan turunannya terkait pengenaan pungutan ekspor. Kondisi harga sawit yang masih berfluktuasi menjadi faktor pertimbangan pemerintah sebelum menetapkan kebijakan.
Aturan pungutan ekspor lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 Tahun 2018.
"Indonesia sebagai produsen sawit terbesar, jangan tambahkan beban bagi pelaku usaha dan petani, sekarang harga masih belum dalam kondisi normal," kata Deputi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud di Jakarta, Senin (25/2).
(Baca: Pungutan Ekspor Sawit Tahun 2018 Mencapai Rp 14 Triliun)
Menurutnya, pemerintah menginginkan pelaku usaha mengekspor ekspor sawit. Namun, pungutan ekspor dikhawatirkan akan berdampak pada harga tandan buah segar (TBS) yang petani terima. Sehingga, pemerintah berhati-hati dalam menentukan kebijakan harga yang berpengaruh terhadap pendapatan petani sawit maupun kinerja ekspor.
Apalagi, tekanan sektor kelapa sawit Indonesia masih cukup besar akibat kampanye negatif . Sehingga, pemerintah melakukan Rapat Koordinasi Terbatas di level Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk menindaklanjuti kebijakan pungutan ekspor. "Sebagai negara, kita harus tetap bela kepentingan nasional," ujar Musdhalifah.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sebagai pihak yang mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan tentang harga referensi sawit sebagai acuan pungutan ekspor juga mengatakan tengah mempertimbangkan fluktuasi harga global. Apalagi, harga sawit sepanjang 2018 terus berada pada level yang rendah.
Dalam Permendag 3/2019, harga referensi CPO bulan Feburari 2019 sebesar US$ 565,4 per ton, lebih tinggi 12,34% daripada harga referensi pada Januari 2019 yang hanya US$ 503,30 per ton. Sementara harga CPO versi Indonesia Comodity and Derivatives Exchange (ICDX) per 15 Februari 2019 sebesar US$ 527 per ton.