Dituding Dalang Mei 1998, Wiranto Minta Kubu Prabowo Baca Laporan TGPF
Menjelang pemilihan presiden atau Pilpres 2019, Menteri Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Wiranto mendapat tudingan sebagai dalang kerusuhan Mei 1998. Wiranto menyarankan penudingnya yakni Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zein yang mendukung Prabowo Subianto agar membaca kembali laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tentang kerusuhan Mei 1998.
Membantah tudingan tersebut, Wiranto menantang Kivlan dan Prabowo Subianto melakukan sumpah pocong untuk membuktikannya. Sumpah pocong merupakan tradisi kepercayaan lokal dalam membuktikan suatu tuduhan.
"Di tahun 1998, siapa yang menjadi bagian dari kerusuhan, apakah saya, Prabowo, atau Kivlan Zein? Sumpah pocong kita, siapa yang sebenarnya menjadi dalang kerusuhan itu? Biar jelas masalahnya, jangan asal menuduh saja," kata Wiranto di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (26/2).
(Baca: Komnas HAM Beri Jokowi Nilai Merah dalam Penuntasan Kasus HAM Berat)
Wiranto menyatakan, pada 1998, ia menjabat Menhankam/Panglima ABRI yang berupaya mencegah kerusuhan. Wiranto bercerita, kerusuhan terjadi pascapenembakan mahasiswa Trisakti pada 13 Mei 1998.
Setelah mendengar terjadi kerusuhan, Wiranto menerjunkan pasukan dari Jawa Timur pada 14 Mei 1998. "Tanggal 15 Mei 1998 pagi Jakarta dan seluruh wilayah Indonesia sudah aman," kata Wiranto.
Wiranto pun mengklaim dirinya melakukan langkah edukatif, persuasif dan dialogis dengan para aktivis reformasi ketika kerusuhan terjadi. Menurut Wiranto, dirinya meminta agar jangan sampai ada kekacauan yang merugikan indonesia.
Wiranto juga membantah tuduhan Kivlan yang menyebut dia hendak mengkudeta pemerintahan Soeharto ketika itu. "Tidak ada sama sekali keinginan, kehendak, tindakan saya yang mengarah kepada melakukan langkah-langkah untuk mengacaukan tahun 1998 sebagai Menhankam/Pangab," kata Wiranto.
(Baca: Timses Klaim Prabowo Tak Terbukti Melanggar HAM)
Wiranto heran dengan Kivlan yang memberikan tuduhan tak berdasarkan fakta tersebut. Terlebih, Kivlan seringkali meminta bantuan uang dari dirinya.
Dia lantas meminta Kivlan untuk terlebih dulu membaca laporan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) soal kerusuhan 1998. Wiranto menyebut laporan itu telah menyebut nama-nama yang diduga menjadi dalang kerusuhan 1998. "Dari sana sudah jelas, 1998 itu sumber kerusuhan mengarah kepada institusi mana. Sudah mengarah figur-figur mana, ada itu," ucap Wiranto.
Kivlan sebelumnya menuduh Wiranto ikut terlibat dalam pelengseran Soeharto pada 1998. Hal ini, kata Kivlan, berdasarkan kepergian Wiranto secara tiba-tiba meninggalkan Jakarta saat kerusuhan terjadi.
Selain itu, Kivlan menyebut Wiranto tak meminta TNI tak berjaga pada saat kerusuhan terjadi. Kivlan pun menyebut Wiranto ketika itu secara terang-terangan meminta Soeharto untuk mundur.
"Jadi kami curiga keadaan kacau masa enggak boleh mengerahkan pasukan untuk amankan, kenapa dia tinggalkan Jakarta, dan kemudian dia minta Pak Harto supaya mundur," kata Kivlan di Gedung AD Premier, Jakarta Selatan, Senin (25/2).
(Baca juga: Menepis Kekhawatiran Hantu Krisis 1998)
Temuan TGPF tentang Kerusuhan Mei 1998
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dibentuk pada 23 Juli 1998 untuk menemukan dan mengungkap fakta, pelaku dan latar belakang peristiwa 13-15 Mei 1998. TGPF terdiri dari unsur pemerintah, Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM), LSM, serta organisasi kemasyarakatan.
Dalam laporannya, TGPF menjelaskan pelaku kerusuhan Mei 1998 terdiri dari tiga golongan yaitu, massa aktif yaitu massa pendatang yang bergerak dengan terorgarnisir; provokator yang menggerakkan massa; dan massa pasif yakni warga lokal yang terpancing provokasi.
Di wilayah Jakarta, TGPF menemukan jumlah korban sebanyak 1.190 orang meninggal akibat terbakar; 27 orang meninggal akibat senjata; dan 91 orang luka-luka. Selain itu ditemukan korban perkosaan massal, penyerangan seksual dan pelecehan seksual. TGPF memverifikasi 52 korban perkosaan; 14 korban perkosaan dengan penganiayaan; 10 korban penyerangan seksual; dan 9 korban pelecehan seksual. Korban kasus kekerasan seksual sebagian besar dialami perempuan keturunan etnis Tiongkok.
Hasil penyelidikan TGPF Mei 1998 ini telah diserahkan ke Kejaksaan Agung, namun hingga kini belum ada tindak lanjut penyidikan. Kejaksaan Agung beralasan menunggu terbentuknya Pengadilan Hak Asasi Ad Hoc.