RI-Australia Teken Perjanjian Dagang, Bea Masuk Ribuan Barang Dihapus
Pemerintah Indonesia dan Australia akhirnya resmi meneken Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dengan Australia (IA-CEPA) setelah berunding selama sembilan tahun. Perjanjian ini menguntungkan kedua negara. Keuntungan bagi Indonesia, antara lain berupa penghapusan bea masuk impor seluruh pos tarif ke Australia menjadi nol persen.
Dalam perjanjian ini, Australia sepakat membebaskan bea masuk atas 6.474 komoditi (harmonized system/HS) asal Indonesia. Sedangkan Indonesia akan menghapus tarif bea masuk sebesar 94% untuk barang dari Australia. Sektor industri utama di kedua negara yang akan mendapat manfaat dari penghapusan tarif ini termasuk otomotif, tekstil, alas kaki, makanan dan minuman, serta furnitur.
Perjanjian dagang ini ditandatangani Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Menteri Perdagangan, Pariwisata, dan Investasi Australia Simon Birmingham dengan disaksikan Wakil Presiden Jusuf Kalla. “Ini positif karena berarti seluruh produk Indonesia yang masuk ke pasar Australia tidak dikenakan bea masuk,” kata Enggar dalam konferensi pers usai penandatangan perjanjian dagang Indonesia-Australia di Jakarta, Senin (4/3).
Baca: Kemendag Kebut Finalisasi Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional)
Menurut dia, produk-produk Indonesia yang ekspornya potensial ditingkatkan ke Australia seiring ditekennya perjanjian ini adalah produk otomotif, khususnya mobil listrik dan hibrid. Sebab, kerja sama ini memberikan persyaratan kualifikasi konten lokal (QVC) yang lebih mudah dibandingkan negara lain. “Kami berharap otomotif akan menjadi andalan ekspor RI di Australia,” ujarnya.
Selain itu, produk kayu dan turunannya termasuk furnitur, tekstil dan produk tekstil, ban, alat komunikasi, obat-obatan, permesinan, dan peralatan elektronik, juga dinilai cukup potensial untuk digenjot ekspornya.
Pada 2018, produk ekspor utama Indonesia ke Australia adalah petroleum (USD$636,7 juta); kayu dan furnitur (US$ 214,9 juta); panel LCD, LED, dan panel display lainnya (US$ 100,7 juta); alas kaki (US$ 96,9 juta); dan ban (US$ 61,7 juta).
Di sisi lain, produk impor utama Indonesia dari Australia adalah gandum (US$ 639,6 juta), batu bara (US$ 632 juta), hewan hidup jenis lembu (US$ 573,9 juta), gula mentah atau tebu lainnya(US$ 314,7 juta), serta bijih besi dan bijih lainnya (US$ 209,3 juta).
Selain urusan tarif, terdapat beberapa poin lain yang masuk dalam cakupan perundingan IA-CEPA. Dari segi perdagangan barang, meliputi aspek nontarif, berbagai measures, ketentuan asal barang, prosedur bea cukai dan fasilitas perdagangan, hambatan teknis perdagangan, sanitasi dan fitosanitasi.
Selanjutnya, perdagangan jasa meliputi ketenagakerjaan, jasa keuangan, telekomunikasi, jasa profesional; investasi; perdagangan elektronik; kebijakan daya saing; kerja sama ekonomi; serta ketentuan kelembagaan dan kerangka kerja. Enggar pun menyebut perjanjian ini
Sesuai perjanjian, di sektor perdagangan jasa, Indonesia akan mendapatkan akses pasar perdagangan jasa di Australia, seperti peningkatan kuota visa kerja dan liburan, yaitu dari 1.000 visa menjadi 4.100 visa di tahun pertama sejak IA-CEPA diimplementasikan. Jumlah kuota visa akan meningkat 5% di tahun berikutnya.
(Baca: Perundingan Perdagangan Bebas Eropa Rampung, RI Bersiap Genjot Ekspor)
Selain itu, untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia, Indonesia juga akan mendapatkan sejumlah fasilitas, seperti program magang dari pemerintah Australia sejalan dengan investasi mereka di bidang pendidilam kejuruan.
Program ini menyediakan 200 visa magang untuk sembilan sektor prioritas, yaitu pendidikan, pariwasata, telekomunikasi, pengembangan infrastruktur, kesehatan, energi, pertambangan, jasa keuangan, teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Selain itu, program pertukaran tenaga kerja antar perusahaan Indonesia-Australia melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin) atau Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Dari segi iklim investasi, IA-CEPA akan memberikan perlindungan investor yang lebih baik. Terdapat 400 perusahaan Australia yang beroperasi di Indonesia. Dengan adanya IA-CEPA diharapkan investasi Australia akan bertambah, khususnya di sektor pendidikan tinggi, kesehatan, industri, konstruksi, energi, pertambangan, pariwisata, dan keterampilan (vokasi).
Keunggulan lainnya IA-CEPA yakni adanya kerja early outcomes yang berjalan bersamaan dengan dirundingkannya perjanjian tersebut. Kerja sama itu meliputi Indonesia-Australia Business Partnership Agreement (IA-BPG), Red Meat and Cattle Partnership, jasa keuangan, proyek pertukaran pengembangan keterampilan, pendidikan dan pelatihan vokasi, Indonesia Food Innovation Center (IFIC), pengembangan desain pakaian dan perhiasan, produk-produk herbal dan spa, pengawasan standar obat dan makanan, dan proyek.
(Baca: Negosiasi Panjang Perjanjian Dagang RI-Australia Akhirnya Rampung)
Sementara itu, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla berharap perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif ini dapat menjadi tonggak sejarah baru bagi peningkatan hubungan bilateral kedua negara. “Perjanjian IA-CEPA dibangun berdasarkan tujuan strategis mengingat kedua negara ini memiliki kedekatan secara geografis dan ekonomi,” kata Jusuf Kalla.
IA-CEPA merupakan perjanjian dagang bilateral ke-5 yang ditandatangani Indonesia dalam tiga tahun terakhir, setelah Indonesia-Chile CEPA (Desember 2017), Preferensi unilateral Indonesia-Palestina (Desember 2017), pengkajian ulang perjanjian perdagangan preferensial Indonesia-Pakistan (Januari 2018), dan Indonesia-EFTA CEPA (Desember 2018).
Perjanjian ini telah dinegosiasikan sejak 2010 ini rencananya akan diteken akhir tahun lalu. Namun, proses tersebut tertunda setelah Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengajukan usulan pemindahan kedutaan besarnya ke Yerusalem dan memicu protes dari pihak Indonesia.
Berdasarkan hasil studi kelayakan pada 2008, IA CEPA akan meningkatkan PDB Indonesia sebesar 0,23% dari baseline sebesar AUD 33,1 miliar pada 2030 atau AUD 1,65 miliar per tahun, khususnya dari liberalisasi perdagangan dan peningkatan investasi dari Australia juga pengembangan kapasitas berupa transfer teknologi, dan pelatihan keahlian di berbagai sektor.