Kerja Sama Ekonomi dengan Australia Buka Peluang Ekspor Manufaktur
Perjanjian Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) baru saja ditandatangani pada Senin lalu (4/3). Kerja sama itu menjadi peluang besar untuk industri manufaktur nasional meningkatkan nilai ekspor ke Australia.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah menyambut baik kerja sama ekonomi komprehensif ini. “Ini momentum untuk memacu pertumbuhan ekonomi kedua negara,” ujarnya seperti dikutip dari Antara, Jakarta, Selasa (5/3). (Baca: Kerja Sama RI-Australia Diteken, Tarif Impor Gula Rafinasi Diturunkan)
Menurutnya, dengan adanya kerja sama ini, ekspor Indonesia akan meningkat ke Australia. Hal ini seiring dengan komitmen Australia mengeliminasi bea masuk impor seluruh pos tarif menjadi 0% untuk 6.474 komoditi (harmonized system/HS) asal Indonesia. Sedangkan Indonesia akan menghapus tarif bea masuk sebesar 94% untuk barang impor dari Australia.
Dia mengatakan pemerintah memang tengah berupaya menggenjot ekspor produk manufaktur. Produk-produk itu di antaranya tekstil, pakaian (clothing), dan alas kaki (footwear). Selama ini, komoditas ekspor unggulan Indonesia ke Negara Kanguru tersebut meliputi produk kayu dan turunannya termasuk furnitur, tekstil dan produk tekstil, ban, alat komunikasi, obat-obatan, permesinan, dan peralatan elektronik.
Pada 2018, produk ekspor utama Indonesia ke Australia adalah produk minyak bumi (petroleum) yang nilainya mencapai US$ 636,7 juta; kayu dan furnitur (US$ 214,9 juta); panel LCD, LED, dan panel display lainnya (US$ 100,7 juta); alas kaki (US$ 96,9 juta); dan ban (US$ 61,7 juta).
Sementara, produk impor utama Indonesia dari Australia adalah gandum (US$ 639,6 juta), batu bara (US$ 632 juta), hewan hidup jenis lembu (US$ 573,9 juta), gula mentah atau tebu lainnya(US$ 314,7 juta), serta bijih besi dan bijih lainnya (US$ 209,3 juta).
(Baca: Kemendag Kejar Target Penandatanganan 12 Perjanjian Dagang)
Pemerintah ingin meningkatkan ekspor ke Australia berupa kendaraan dalam bentuk utuh, baik mesin yang menggunakan bahan bakar, maupun elektrik. “Karena industri otomotif di sana (Australia) tutup semua. Ini menjadi peluang bagi kita (Indonesia),” katanya.
Selain itu, kata Airlangga, kekhususan perjanjian ini dibandingkan dengan perundingan lainnya adalah adanya keterlibatan para pelaku usaha swasta sejak awal, melalui Indonesia-Australia Business Partnership Group (IA-BPG). Keterlibatan ini bisa memberikan pandangan dan masukan pelaku usaha terhadap proses perundiingan dan studi kelayakan IA CEPA saat awal pembentukan.
Ia berharap setelah IA CEPA ditandatangani, keterlibatan para pelaku usaha tersebut terus berlanjut. “Para pelaku usaha perlu mempelajari kesempatan-kesempatan yang dihasilkan dari IA CEPA, sehingga ketika IA CEPA mulai berlaku, manfaatnya langsung dapat dinikmati oleh para pelaku usaha,” ujar Airlangga.
Keunggulan lainnya IA-CEPA yakni adanya kerja early outcomes yang berjalan bersamaan dengan perundingan perjanjian tersebut. Kerja sama itu meliputi Indonesia-Australia Business Partnership Agreement (IA-BPG), Red Meat and Cattle Partnership, jasa keuangan, proyek pertukaran pengembangan keterampilan, pendidikan dan pelatihan vokasi, pusat inovasi produk makanan di Indonesia (IFIC), pengembangan desain pakaian dan perhiasan, produk-produk herbal dan spa, pengawasan standar obat dan makanan, dan kerja sama proyek lainnya.
Selain itu, nantinya tenaga kerja Indonesia juga diberikan kemudahan memperoleh work holiday visa (WHV) di Australia. Dengan adanya IA CEPA, pemerintah Australia berencana menambah kuotanya menjadi 2.500 orang per tahun dari sebelumnya hanya 1.000 orang per tahun. Pada saat IA CEPA berlaku, kuota WHV akan bertambah 4.100 orang per tahun dengan kenaikan kuota 5% per tahun.
(Baca: RI-Australia Teken Perjanjian Dagang, Bea Masuk Ribuan Barang Dihapus)