Gabungan Pengusaha Dukung Pemerintah Lawan Diskriminasi Sawit ke WTO

Image title
15 April 2019, 21:30
Sawit, kelapa sawit, Uni Eropa
ANTARA FOTO/Akbar Tado
Pekerja memperlihatkan biji buah sawit di salah satu perkebunan sawit di Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi barat, Sabtu (25/3).

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan dukungan terhadap langkah pemerintah Indonesia dalam menangani diskrimisasi kelapa sawit Indonesia oleh Uni Eropa. Langkah pemerintah yang bakal ditempuh dengan membawa kasus ini ke sidang Organisasi Perdagangan Dunia alias World Trade Organization (WTO).

Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono mengatakan, dibawanya kasus ini ke ranah WTO merupakan langkah terakahir yang akan ditempuh Indonesia untuk menyelesaikan diskriminasi sawit ini. Sebelum sampai ke sana, pemerintah tengah menganalisa opsi lain untuk melawan rencana Uni Eropa menggolongkan kelapa sawit sebagai The Delegated Act pada 2021.

The Delegated Act merupakan aturan yang mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai sumber energi yang tidak berkelanjutan dan termasuk dalam kategori indirect land use change (ILUC) yang berisiko tinggi.

(Baca: Mentan: B100 Bisa Menjadi Jawaban Atas Hambatan Minyak Sawit)

"Usaha-usaha lain juga sedang dikaji pemerintah, termasuk kemungkinan retaliasi. Tapi perlu analisa pembahasan detail, semua usaha harus paralel dan konsisten serta harus didukung pelaku usaha," kata Joko ketika ditemui di Menara Astra, Jakarta, Senin (15/4).

Wakil Direktur Utama PT Astra Agro Lestari Tbk ini mengungkapkan, langkah perlawan yang dilakukan oleh pemerintah harus didukung oleh pelaku-pelaku usaha kelapa sawit dari dalam negeri. Namun, tidak bisa dilakukan jika hanya segelintir perusahaan saja yang ikut bergerak, semua pihak yang terdampak harus bersatu baik pemerintah, pengusaha, maupun asosiasi.

Ia menambahkan, ekspor sawit Indonesia ke Eropa berkisar antara 4,5 juta ton hingga 5 juta ton. Angka ini tergolong relatif kecil jika dibandingkan dengan ekspor sawit Indonesia di luar Eropa, yang mencapai mencapai 7 juta ton. "Yang jelas, pasar Eropa cukup besar, tapi pasar-pasar di luar Eropa juga cukup besar," kata Joko.

Meski relatif lebih kecil, namun Joko menegaskan pasar Eropa tetap harus menjadi perhatian utama. Tidak semata-mata karena besaran volume ekspornya, tapi karena dampak kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa acap kali menjadi rujukan negara lain dalam mengambil kebijakan.

Halaman:
Reporter: Ihya Ulum Aldin
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...