Jokowi: Perizinan Investasi di Indonesia Masih Mahal
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai masih banyak kendala bagi para investor menanamkan modalnya di Indonesia. Jokowi bercerita, dirinya kerap kali bertemu dengan kepala negara dan investor di luar negeri, termasuk ketika berkunjung ke Arab Saudi.
Mereka, kata Jokowi, memiliki keinginan besar untuk investasi di Indonesia. Hanya saja, keinginan mereka itu luntur setelah melihat proses investasi di Indonesia. "Begitu masuk, kita tahu semuanya betapa masih ruwetnya mengurus perizinan di negara kita," kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/4).
Menurut Jokowi, keruwetan tersebut lantaran biaya yang harus dibayar untuk mengurus izin investasi di Indonesia mahal. Jokowi juga menilai terlalu banyak aturan yang memperlambat proses investasi tersebut.
Jokowi mengatakan, ada 43 ribu aturan yang diberlakukan di Indonesia. Padahal, aturan di negara lain sudah jauh lebih ringkas dalam menjangkau investasi yang masuk. "Ini problem yang selalu saya dengar dari investor-investor yang ingin investasi di Indonesia. Artinya eksekusi kita ini lamban," kata Jokowi.
(Baca: Jokowi Minta APBN 2020 Jadi Stimulus Ekspor dan Investasi)
Menurut Jokowi, masalah ini perlu diselesaikan. Sebab, investasi merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Jokowi mengatakan bahwa pemerintah sudah berusaha mempermudah iklim investasi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan peringkat Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia di posisi 73 pada 2019.
Angka ini meningkat jika dibandingkan pada 2014 lalu yang berada di posisi 120. "Ini sebuah lompatan besar sebetulnya dalam kemudahan berusaha di Indonesia," kata Jokowi.
Masih Jauh dari Target Peringkat 40
Kendati demikian peringkat Indonesia dalam EoDB 2019 masih jauh dari target peringkat 40 yang telah ditetapkan Jokowi. Bahkan, Indonesia turun satu peringkat dibandingkan EoDB 2018 dimana Indonesia berada pada peringkat 72 atau naik 19 peringkat dibandingkan EoDB 2017 di peringkat 91. Sedangkan pada laporan EoDB 2016, Indonesia berada di peringkat ke-106.
Dalam penilaian EoDB 2019, Indonesia menunjukkan perbaikan pada tiga indikator dari 11 indikator yang dinilai oleh Bank Dunia. Untuk indikator kemudahan memulai bisnis, Indonesia berhasil memangkas dan menyederhanakan prosedur pasca pencatatan administratif, antara lain dalam hal administrasi pajak, jaminan sosial, dan perizinan.
(Baca: Menjauh dari Target Jokowi, Kemudahan Usaha di Indonesia Turun Jadi 73)
Untuk indikator kemudahan pendaftaran properti, Indonesia berhasil meningkatkan efisiensi administratif. Selanjutnya, untuk indikator pemerataan informasi kredit, Indonesia berhasil mengembangkan cakupan informasi yang dikumpulkan dan dilaporkan oleh biro kredit. Indonesia mendapatkan skor 67,96, naik 1,42 poin dibandingkan tahun lalu.
Namun ada sejumlah indikator yang tidak menunjukkan perbaikan. Indikator-indikator tersebut yaitu kemudahan dalam perizinan konstruksi, kemudahan untuk mendapatkan listrik, serta penguatan hak para kreditur dan debitur di mata hukum.
Selain itu, Indonesia juga belum menunjukkan perbaikan dalam perlindungan untuk investor minoritas, kemudahan dalam pembayaran pajak, perdagangan antarnegara, eksekusi kontrak bisnis, penyelesaian masalah kepailitan, dan aturan perburuhan.
Bank Dunia mengklaim sejak diluncurkan pada 2003 laporan EoDB telah menginspirasi 3.500 reformasi di sepuluh area bisnis. Pada periode 2017-2018, sebanyak 128 negara melakukan 314 reformasi dalam kemudahan berusaha. Menurut data Bank Dunia, di seluruh dunia, rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk mengurus bisnis saat ini adalah 20 hari dan biayanya mencapai 20% dari pendapatan per kapita.
(Baca: Tiga Indikator Penyebab Peringkat Kemudahan Usaha di Indonesia Turun)