Menentukan Arah Investasi Pasca-Pemilu 2019

Hari Widowati
23 April 2019, 17:30
Bursa Efek Indonesia mengadakan konferensi pers mengenai Pengumuman Perdagangan Bursa Efek Indonesia 2018 di Bursa Efek Indonesia, Jakarta Selatan (27/12). Direktur Utama BEI Inarno Djajadi mengatakan dirinya optimis dengan pergantian tahun ini, meski ta
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Arus modal asing diprediksi akan semakin deras masuk ke pasar saham dan obligasi di Indonesia pasca-pemilu 2019.

Masyarakat Indonesia telah melaksanakan Pemilu serentak pada 17 April lalu. Meski hasil pemenang Pemilu masih harus menunggu hasil hitung nyata (real count) Komisi Pemilihan Umum (KPU), pelaku pasar terlihat antusias untuk kembali bertransaksi di pasar keuangan.

Seperti apa arah investasi pasca-Pemilu 2019? Sejumlah perusahaan manajemen investasi dan sekuritas memberikan bocoran strategi investasinya untuk Anda ikuti.

Kepala Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management (BTIM) Budi Hikmat mengatakan, dampak pemilu terhadap pasar modal tahun ini tidak sekuat pemilu-pemilu sebelumnya yang dilaksanakan sejak era reformasi. Hal ini disebabkan oleh berakhirnya era super commodity booming yang memicu defisit neraca berjalan selama lima tahun terakhir.

Ketika harga komoditas melonjak, Indonesia meraup devisa yang melimpah dari hasil ekspor komoditas sehingga menopang surplus neraca berjalan. Hasil penjualan komoditas ini juga memperkuat daya beli masyarakat. Kondisi ini tercermin pada peningkatan uang beredar (M1) yang kemudian digunakan untuk membeli kendaraan bermotor, properti, semen, dan lain-lain yang berdampak pada peningkatan laba emiten. Tidak mengherankan jika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melambung naik setiap tahun pemilu.

"Pemilu kali ini ditandai dengan pelemahan pertumbuhan M1 yang sejalan dengan defisit neraca berjalan yang berisiko membatasi kenaikan IHSG,” kata Budi Hikmat dalam keterangan pers.

Budi menyebut ada lima faktor utama yang dicermati dalam kondisi normal dengan singkatan ELVIS. Faktor pertama adalah pendapatan (earning) emiten untuk menarik investor masuk ke saham tersebut. Kedua adalah likuiditas (liquidity), khususnya arus modal masuk dari luar negeri. Ketiga adalah faktor valuasi (valuation), misalnya berdasarkan price earning ratio (PER).

Keempat, faktor suku bunga (interest rate) terutama suku bunga acuan dari bank sentral. Kelima, faktor sentimen (sentiment) yang diukur berdasarkan angka credit default swap (CDS) Indonesia. "Mencermati dinamika global dan fundamental domestik, panduan itu kami atur ulang sebagai SLIVE," ujar Budi.

Sentimen menjadi faktor utama di pasar modal, terutama ketika terjadi perubahan drastis kebijakan The Fed yang mengakhiri pengetatan likuiditas dan berakhirnya stimulus pajak Presiden Donald Trump. Dampaknya, arus modal asing kembali masuk ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Sejak awal tahun ini, arus modal asing yang masuk ke pasar obligasi mencapai US$ 6 miliar atau sekitar Rp 84 triliun. Adapun dana asing yang masuk ke pasar saham mencapai Rp 15,21 triliun.

Menurut Budi, hal ini menunjukkan apresiasi investor asing terhadap Indonesia, bukan hanya terhadap pelaksanaan Pemilu tetapi juga kesigapan otoritas moneter dan fiskal dalam menghadapi gejolak global pada 2018. Angka CDS yang cenderung menurun juga menunjukkan kepercayaan investor asing bahwa risiko gagal bayar utang Indonesia rendah. "Ada peluang Bank Indonesia bakal melonggarkan likuiditas termasuk melalui penurunan suku bunga bila The Fed tidak lagi menaikkan bunga, sementara penyaluran kredit masih belum memuaskan," kata Budi.

(Baca: INDEF Sebut Stabilitas Makro Ekonomi Terjaga Sepanjang Pemilu 2019)

Arus Modal Asing Lebih Besar di Pasar Obligasi

Berdasarkan indikator SLIVE, Budi melihat alokasi arus modal asing di pasar surat berharga negara (SBN) akan lebih besar ketimbang di pasar modal. Investor asing memanfaatkan imbal hasil SBN yang relatif tinggi sejalan dengan penurunan imbal hasil treasury bond dan peluang penguatan rupiah hingga akhir tahun.

“Semarak di pasar SBN menjadi prasyarat peluang kenaikan di pasar saham yang juga menunggu penguatan daya beli masyarakat," kata Budi. Hal ini akan terwujud jika pemerintah mampu memacu kinerja ekspor manufaktur dan pariwisata sebagai mesin penghasil valas selain komoditas primer.

Budi memproyeksikan imbal hasil saham tahun ini sejalan dengan pertumbuhan laba perusahaan sebesar 10-12%. Alhasil, IHSG berpeluang ditutup di level 6.800-6.900 pada akhir 2019. Imbal hasil investasi di saham ini lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi yang diproyeksikan sekitar 3-4%.

Hasil Hitung Cepat Sesuai Ekspektasi Pelaku Pasar

Hasil hitung cepat (quick count) yang dilakukan sejumlah lembaga survei menunjukkan pasangan calon (paslon) 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin unggul dari paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Beberapa sekuritas menyebut hasil hitung cepat ini sesuai dengan ekspektasi pasar.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...