OJK: Kredit Perbankan Triwulan I-2019 Tumbuh 11,55%
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai stabilitas dan likuiditas sektor jasa keuangan selama triwulan I-2019 dalam kondisi terjaga. Hal itu sejalan dengan penguatan kinerja intermediasi dan perbaikan profil risiko lembaga jasa keuangan. Kesimpulan tersebut diungkapkan usai Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK, Rabu (24/4).
Kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan meneruskan tren pertumbuhan di triwulan I-2019. Di mana, kredit perbankan yang tumbuh 11,55% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara piutang pembiayaan tumbuh 5,17% yoy, menguat dibandingkan periode sebelumnya.
Pertumbuhan kredit sektor pertambangan dan konstruksi pada periode ini meningkat masing-masing 31,5% yoy dan 27,1% yoy. Sementara, porsi kredit terbesarnya disalurkan ke industri pengolahan yang tumbuh 9,5% yoy.
Di sisi lain, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan juga meningkat dibanding kuartal sebelumnya sebesar 7,18% yoy. Sementara itu, asuransi jiwa dan asuransi umum/reasuransi berhasil menghimpun premi masing-masing sebesar Rp 44,3 triliun dan Rp 25 triliun pada Q1 2019.
(Baca: Sri Mulyani Pantau Stabilitas Sistem Keuangan Kuartal I Masih Baik)
Profil risiko lembaga jasa keuangan juga terjaga pada level yang manageable, tercermin dari rasio kredit bermasalah alias Non-Performing Loan (NPL) gross perbankan sebesar 2,51% dan NPL net sebesar 1,12%. Sementara itu, rasio pembiayaan bermasalah pada perusahaan pembiayaan alias Non-Performing Financing (NPF) pada level 2,71% dan NPF net 0,62%.
Risiko pasar perbankan juga berada pada level yang rendah, dengan rasio Posisi Devisa Neto (PDN) perbankan sebesar 2,16%, di bawah ambang batas ketentuan.
Pertumbuhan intermediasi, didukung likuiditas perbankan yang memadai, tercermin dari liquidity coverage ratio dan rasio alat likuid/non-core deposit masing-masing sebesar 201,03% dan 113,18%. Jumlah total aset likuid perbankan yang mencapai sebesar Rp 1.250 triliun pada akhir Maret 2019, dinilai berada pada level yang cukup tinggi untuk mendukung pertumbuhan kredit ke depan.
Pertumbuhan industri jasa keuangan juga masih didukung oleh permodalan yang kuat. Rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan meningkat menjadi sebesar 23,97% pada Maret 2019. Sementara itu, Risk-Based Capital industri asuransi umum dan asuransi jiwa masing-masing sebesar 315% dan 457%, jauh di atas ambang batas ketentuan.
(Baca: BCA Siapkan Dana Rp 1 Triliun untuk Akuisisi Bank Royal )
Ke depan, OJK akan terus memantau perkembangan di pasar keuangan global dan domestik, serta dampaknya terhadap pertumbuhan intermediasi sektor jasa keuangan nasional. OJK juga akan senantiasa memantau potensi risiko yang mungkin timbul untuk tetap menjaga stabilitas di sektor jasa keuangan.
Pasar Modal
Selain industri jasa keuangan, dalam RDK juga memantau pasar modal di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang triwulan I-2019 tercatat meningkat 4,43% sejak awal tahun ini dengan investor nonresiden membukukan net buy sebesar Rp12,1 triliun. Secara sektoral, kontributor terbesar kenaikan IHSG berasal dari sektor keuangan, infrastruktur, dan perdagangan.
Penguatan juga terjadi di pasar obligasi. Yield di pasar Surat Berharga Negara (SBN) turun di semua tenor secara rata-rata sebesar 38 basis poin, dengan investor nonresiden membukukan net buy sebesar Rp73,9 triliun.
(Baca: Survei BI: Kredit Perbankan Triwulan I 2019 Melambat)
Di pasar modal, sepanjang triwulan I-2019 korporasi yang melakukan penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) berhasil menghimpun dana Rp28 triliun, dengan jumlah emiten baru sebanyak 6 perusahaan. Sementara itu, total dana kelolaan investasi tercatat sebesar Rp762 triliun, meningkat 5,8% dibandingkan posisi yang sama tahun 2018.
OJK menilai, sentimen positif di pasar modal tersebut karena International Monetary Funds (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan perekonomian global. Pemangkasan itu, terutama didorong oleh penurunan pertumbuhan di negara dengan ekonomi maju (advanced economies).
Untuk mendorong pertumbuhan, kebijakan moneter global akan lebih akomodatif, seperti yang disampaikan oleh Bank Sentral Amerika Serikan, The Fed maupun European Central Bank (ECB) karena mereka mereafirmasi tidak akan menaikkan suku bunga kebijakannya pada 2019 ini.
Pelonggaran kebijakan moneter di negara ekonomi maju tersebut, turut mendorong meningkatnya likuiditas ke negara berkembang, terlebih secara relatif pertumbuhan negara berkembang lebih kuat. IMF meningkatkan proyeksi pertumbuhan Indonesia tahun 2019 dari 5,12% menjadi 5,24%.