Jusuf Kalla Ajak Lawan Diskriminasi Sawit di KTT Tiongkok

Muchamad Nafi
28 April 2019, 18:19
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengajak untuk melawan diskriminasi sawit di KTT Tiongkok.
KATADATA/MICHAEL NATHANIEL
Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto usai membuka Indonesia Industrial Summit 2019 di ICE BSD, Tangerang Selatan, Senin (15/4).

Perlakuan diskriminatif Uni Eropa terhadap komoditas kelapa sawit terus menjadi bahasan utama negara-negara produsennya, termasuk Indonesia. Karena itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengangkat diskriminasi sawit di Forum Kerja Sama Internasional Sabuk Maritim dan Jalur Sutra Baru. Belt and Road Forum (BRF) II ini diselenggarakan di Beijing, Tiongkok.

Diskriminasi sawit dipicu oleh The Delegated Act, aturan yang mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai sumber energi yang tidak berkelanjutan dan masuk dalam kategori indirect land use change (ILUC) yang berisiko tinggi. “Indonesia yang sekitar 16 juta warganya terlibat dalam perkebunan dan industri sawit terus menghadapi perlakuan diskriminatif,” kata Kalla pada sesi tiga Pertemuan Meja Bundar Para Pemimpin BRF, Sabtu (27/4).

Jusuf Kalla menyayangkan perlakuan diskriminatif itu mengatasnamakan isu sustainable palm oil. Padahal kelapa sawit telah memberikan kontribusi signifikan dalam pencapaian cita-cita pembangunan berkelanjutan (SDGs) di Indonesia.

Kontribusi tersebut diperkuat data-data yang akurat. “Sayangnya, semua data tidak didengarkan. Diskriminasi terus dijalankan sehingga berpengaruh terhadap pencapaian SDGs Indonesia. Oleh karena itu, diskriminasi ini harus dilawan,” ujar Kalla dalam forum yang dihadiri sekitar 40 pemimpin negara/pemerintahan, termasuk Presiden Cina Xi Jinping -tuan rumah sekaligus penggagas BRF.

Menurut Kalla, tidak ada satu pun negara yang bisa mencapai SDGs sendiri tanpa sinergi dan kerja sama dengan negara lain, termasuk melalui BRF. Dan kerja sama ini harus bersifat national-drive, bukan donor atau loan-giver driven.

(Baca: Diskriminasi Sawit, Negara Produsen Sampaikan Keberatan ke Uni Eropa)

Kerja sama ini, Jusuf Kalla melanjutkan, juga harus mempertimbangkan inklusivitas agar Prakarsa Jalur Sutra dapat mensejahterakan setiap negara yang tergabung di dalamnya. Demikian pula dengan peran swasta harus lebih banyak dilibatkan. Dengan demikian, proyek kerja sama tidak terlalu mengandalkan pada utang pemerintah.

Selain mengumandangkan untuk melawan diskriminasi sawit, dalam forum tersebut, Kalla tetap mengingatkan pentingnya kelestarian lingkungan yang merupakan bagian integral dari pencapaian SDGs. Selain itu, yang lebih penting dalam kerja sama ini yakni kepemimpinan kolektif dan saling berbagi tanggung jawab. “Dunia akan melihat dan mencatat apakah janji dalam kerja sama Belt and Road ini benar-benar membawa keuntungan bagi semua,” katanya.

(Baca: Lawan Diskriminasi Sawit Uni Eropa, Menko Perekonomian Pimpin Delegasi)

 Saat ini, permintaan kelapa sawit Indonesia di Cina terus meningkat. Pada 2016 Negeri Panda itu mengimpor kelapa sawit 3,23 juta ton. Kemudian pada tahun berikutnya menjadi 3,27 ton. Pada 2018 Cina menyetujui penambahan impor 500 ribu ton kelapa sawit dari Indonesia. Sebaliknya, Komisi Eropa memutuskan penghentian impor kelapa sawit sebagai bahan bakar dengan alasan deforestasi.

Indonesia Siap Menggugat Diskriminasi Sawit Uni Eropa ke WTO

Sebelumnya, pemerintah Indonesia sedang menilai lima kantor konsultan hukum internasional sebagai persiapan menggugat Uni-Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Gugatan ini akan dilayangkan jika aturan Uni Eropa yang anti-sawit jadi terbit pada 15 Mei 2019 mendatang.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan pemerintah dan pengusaha berkomitmen untuk membela produk ekspor andalan Indonesia ini. “Kami akan melaporkan langkah untuk gugatan ke WTO, baik pemerintah maupun swasta,” kata Oke di Jakarta, Kamis (18/4).

(Baca: Diskriminasi Sawit, Faisal Basri Saran Diplomasi Tidak Lewat Luhut )

Menurut Oke, Mayer Brown LLP dan Sidley Austin LLP termasuk dalam daftar konsultan hukum yang sedang dalam penilaian. Setelah kantor konsultan hukum terpilih, pemerintah akan berkonsultasi terkait substansi materi yang bertentangan dalam artikel di WTO. Mereka dinilai lebih mengetahui terkait bagian yang akan digugat.

Meski gugatan pemerintah kepada Uni-Eropa bakal berjalan paralel dengan pihak swasta, tetapi tempat pengaduannya berbeda. Perusahaan swasta bakal mengajukan gugatan kepada Pengadilan Uni-Eropa, bukan WTO.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...