Wacana Pemindahan Ibu Kota Negara, dari Era Soekarno hingga Jokowi

Hari Widowati
30 April 2019, 15:16
Sejumlah kendaraan terjebak macet di ruas jalan bebas hambatan atau Tol, kawasan Cawang UKI, Jakarta, Senin (18/3). Pertumbuhan jumlah motor dan mobil di Jakarta mencapai 12 persen per tahun atau berkisar 5.500 hingga 6000 unit per hari dan kepadatan jala
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Sejumlah kendaraan terjebak macet di ruas jalan bebas hambatan atau tol, di kawasan Cawang UKI, Jakarta, Senin (18/3). Kemacetan menjadi salah satu alasan pemerintah ingin memindahkan ibu kota negara ke luar Jakarta.

Wacana tentang pemindahan ibu kota negara Indonesia dari Jakarta ke lokasi lainnya kembali muncul. Jakarta dinilai tidak layak lagi menjadi ibu kota negara lantaran masalah banjir dan macet yang kerap terjadi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan menggelar rapat terbatas (ratas) untuk membahas hal pemindahan ibu kota tersebut, Senin (29/4) lalu.

Jokowi menyebut ide pemindahan ibu kota negara sudah ada sejak masa pemerintahan Presiden RI pertama Soekarno. Menurut Wikipedia.id, Soekarno menyiapkan Palangkaraya sebagai calon ibukota Indonesia pada 1957. Ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah tersebut dinilai memiliki wilayah yang luas dan secara geografis tepat berada di jantung khatulistiwa.

Namun, rencana tersebut tidak terwujud. Soekarno malah membangun berbagai monumen dan patung di Jakarta hingga awal 1960-an. Sebut saja Monumen Nasional (Monas), Masjid Istiqlal, Gelora Bung Karno (GBK), hingga Monumen Pembebasan Irian Jaya di Lapangan Banteng. Pada 1966, Jakarta mendapatkan status Daerah Khusus Ibukota (DKI). Sejak saat itu, Jakarta berkembang menjadi metropolis modern.

Pada masa pemerintahan Presiden RI kedua Soeharto, Jakarta semakin berkembang sebagai pusat ekonomi dan politik Indonesia. Pesatnya pembangunan kota ini membuat angka urbanisasi dari wilayah lain di Indonesia ke Jakarta terus meningkat.

(Baca: Sri Mulyani: Urbanisasi Bisa Dorong Indonesia Jadi Negara Maju)

Perkembangan pusat pemerintahan diikuti dengan pembangunan gedung-gedung bertingkat, khususnya di kawasan komersial dan finansial sepanjang Jalan MH Thamrin, Sudirman, dan Kuningan. Populasi penduduk Jakarta pun meningkat signifikan sejalan dengan pembangunannya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk ibu kota Indonesia ini mencapai 4,58 juta pada 1971. Angka ini melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 9,61 juta penduduk pada 2010.

Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukkan jumlah penduduk di DKI Jakarta mencapai 10,2 juta jiwa. Survei ini juga memproyeksikan jumlah penduduk Jakarta akan mencapai puncaknya pada 2040, yakni 11,28 juta orang.

Jakarta juga menghadapi masalah kemacetan akibat pertumbuhan jalan raya tak mampu mengejar pertumbuhan jumlah kendaraan. Pemerintah membangun infrastruktur dan sarana transportasi massal sembari mengedukasi masyarakat untuk menggunakan transportasi publik demi mengurangi kemacetan. Banjir yang melanda Jakarta juga menjadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara.

Di era Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono, kajian tentang pemindahan ibu kota negara berlanjut. Ibu kota yang baru harus dipisahkan dari pusat ekonomi dan komersial, artinya menjauh dari Jakarta.

Pemerintahan Jokowi pada April 2017 kembali memunculkan wacana ini, termasuk mengkaji kota-kota mana saja yang akan menjadi alternatif ibu kota baru. Nama Palangka Raya kembali disebut oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

(Baca: Bappenas: Butuh Dana Rp 466 Triliun untuk Pindahkan Ibu Kota)

Tiga Alternatif Ibu Kota Baru

Pemerintah kembali membahas pemindahan ibu kota negara dalam ratas kemarin. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, ada tiga alternatif yang dikaji.

Pertama, ibu kota tetap di Jakarta tetapi ada distrik khusus untuk pusat pemerintahan. Distrik itu berada di sekitar Monas dan Istana Negara, Jakarta Pusat. Apabila pemerintah memilih alternatif ini, perlu disiapkan transportasi massal di distrik ini guna memudahkan mobilitas antarpegawai kementerian dan lembaga (K/L). "Artinya, harus mengubah peruntukan wilayah. Kerugiannya tentu hanya akan menguatkan Jakarta sebagai pusat Indonesia," ujar Bambang.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...