Neraca Dagang April Defisit, Rupiah Diprediksi Melemah hingga Juni
Nilai tukar rupiah diperkirakan akan terus melemah hingga Juni 2019. Analis Samuel Sekuritas Lana Sulistyaningsih mengatakan, tren pada kuartal kedua setiap tahun memang cenderung menekan rupiah. Penyebabnya, banyak permintaan dolar AS untuk membayar utang, dividen, dan kupon.
“Permintaan ini menambah beban rupiah,” katanya ketika dihubungi kemarin, Rabu (15/5). Tekanan ini semakin dalam setelah Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan defisit neraca dagang April 2019 menyentuh US$ 2,5 miliar, rekor terdalam sepanjang sejarah.
Defisit ini lebih besar dari ekspektasi dan membuat pasar kecewa. Investor saat ini berpikir ulang untuk menanamkan dananya ke Indonesia. Lana memperkirakan pergerakan rupiah berada di ksiaran Rp 14.450-Rp 14.470 per dolar AS.
(Baca: Terdalam Sepanjang Sejarah, Defisit Dagang April Tembus US$ 2,5 Miliar)
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira juga sependapat. Defisit neraca dagang membuat pergerakan rupiah cenderung terdepresiasi. Pada arus modal asing khusunya di pasar modal, net sell (jual bersih) tercatat cukup besar. "Bahkan sudah tembus Rp 100 miliar," katanya.
Beberapa emiten yang berorientasi pada ekspor diproyeksikan memiliki output yang kurang bagus. Emiten komoditas maupun berbasis industri manufaktur, ia melihat, kinerjanya akan melemah karena terpengaruh ekspektasi investor.
Eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang memanas membuat banyak investor asing mencari aset yang lebih aman. "Jadi investor asing menjauhi aset-aset yang berisiko, khususnya di emerging market," ujarnya.
Indonesia, menurut dia, termasuk dalam negara berisiko karena dampak perang dagang mulai terasa. Ekspor produk ke AS turun 5% pada April 2019. Begitu pula ke Tiongkok yang melemah 10%. Padahal kedua negara itu merupakan contributor seperempat dari total ekspor nonmigas Indonesia. Investor asing melihat hal ini akan berdampak pada nilai rupiah dalam jangka pendek maupun panjang.
Namun, hal berbeda untuk investor domestic yang cenderung lebih optimistis. Saat ini terjadi peningkatan impor karena jelang Lebaran 2019. "Karena jika impor barang konsumsi tinggi maka pada kuartal kedua 2019 konsumsi rumah tangga bisa mencapai 5%," kata Bhima.
Proyeksi rupiah menurut Bhima esok hari dikoreksi tidak akan terlalu dalam. Ia memprediksi pergerakannya pada level Rp 14.500 per dolar AS.
(Baca: Rupiah Tertekan, Darmin: Negara Berkembang Selalu Dirugikan Gejolak)