Jalan Panjang Blok Masela, Kontroversi Kilang hingga Investasi Jumbo

Ameidyo Daud Nasution
30 Mei 2019, 11:54
blok masela, pengembangan blok masela, inpex, jepang, blok migas, maluku, skk migas
Arief Kamaludin | Katadata

Pembahasan pengembangan Lapangan Abadi Blok Masela telah mencapai babak baru. Setelah 20 tahun lebih terkatung-katung, kini pembahasannya mulai menunjukkan kejelasan. Senin (27/5) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menemui CEO Inpex Corporation Takayuki Ueda di Tokyo, Jepang, dan menyepakati beberapa hal terkait pengembangan Blok Masela. 

Dalam pertemuan tersebut, disepakati nilai investasi pengembangan blok ini US$ 18-20 miliar. Pemerintah dan Inpex juga mencapai kesepakatan bersama dengan skema bagi hasil, dimana pemerintah sekurangnya mendapat bagian 50 persen. Hal ini disebutnya kesepakatan dapat diraih usai 18 tahun pembahasan. 

“(Bagi hasil) minimal 50:50 dan bila real cost turun bisa mencapai lebih dari 58 persen untuk negara," kata Jonan dalam keterangan resminya. (Baca: Pemerintah dan Inpex Akhirnya Sepakat Investasi Masela Hingga US$ 20 M)

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) juga memastikan pengembangan Blok Masela menggunakan skema kilang darat alias onshore. Biaya pengembangan dengan skema ini sekitar US$ 6-7 per setara barel minyak (boe) atau 20 persen lebih murah ketimbang biaya untuk skema kilang laut (offshore) sebesar US$8-9 per boe. 

”Pemerintah terus bekerja keras supaya Masela dapat segera beroperasi dan memberikan manfaat terbaik untuk negara dan rakyat Indonesia," kata Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto. 

Cadangan terbukti di lapangan yang terletak di Laut Arafuru, Maluku Utara tersebut sebesar 10,7 triliun kaki kubik (Tcf). Cadangan ini menjadi pangkal rumitnya mencari kesepakatan rencana pengembangan Blok Masela. Padahal, Inpex sebenarnya telah mendapatkan hak melakukan eksplorasi di Blok Masela pada 16 November 1998 untuk melakukan eksplorasi hidrokarbon. 

Pemerintah memberikan masa eksplorasi Blok Masela selama 10 tahun. Namun, hingga menjelang tenggat, eksplorasi belum selesai. Makanya, Inpex mengajukan perpanjangan pada 2008. Pada 2010, Inpex mendapat persetujuan pengembangan Blok Masela melalui skema floating LNG (FLNG) atau di laut (offshore) pada 2010 dari Menteri ESDM saat itu Darwin Zahedy Saleh.

(Baca: Pengamat Peringatkan Risiko Inpex Batal Garap Blok Masela)

Pada 2014, Inpex menemukan cadangan gas baru sebesar 10,7 Tcf. Temuan cadangan baru yang sangat besar ini mengharuskan adanya revisi proposal pengembangan (PoD) yang sudah ditetapkan sebelumnya. Revisinya dilakukan dengan menambah kapasitas FLNG dari 2,5 juta metrik ton menjadi 7,5 juta metrik ton. Namun, revisi ini belum dapat dirampungkan hingga pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berakhir. 

Proposal revisi PoD Blok Masela pun diajukan kembali saat pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Saat itu Inpex mengajukan perubahan kapasitas FLNG dari 2,5 juta ton per tahun selama 30 tahun, menjadi 7,4 juta ton per tahun selama 24 tahun. Perubahan kapasitas FLNG ini terjadi karena cadangan yang ditemukan lapangan tersebut meningkat dari proposal awal sebesar 6,05 tcf menjadi 10,3 tcf. 

Hal tersebut malah menjadi polemik, lantaran Rizal Ramli yang masih menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman tidak setuju dengan rekomendasi SKK Migas atas rencana pengembangan Blok Masela. Rizal menilai pengolahan gas Blok Masela tidak tepat, jika menggunakan FLNG karena tidak meningkatkan pembangunan daerah wilayah Maluku. 

(Baca: SKK Migas Sebut Kilang LNG Masela Lebih Ekonomis Dibangun di Darat)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...