Wiranto: Tidak Ada Celah Referendum dalam Hukum Indonesia

Image title
31 Mei 2019, 18:02
Wiranto menyatakan tidak ada celah referendum dalam hukum Indonesia
ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
Menkopolhukam Wiranto (tengah) bersama Menkumham Yasonna H. Laoly (kiri), Mendagri Tjahjo Kumolo (kedua kanan), dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian (kanan) di Jakarta, Senin (8/5/2017).

Isu pemisahan daerah dari negara melalui referendum kembali mencuat. Kali ini datang dari Ketua Umum Dewan Pimpinan Aceh, Partai Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem. Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Hukum Politik dan Keamanan Wiranto menyatakan ruang referendum dalam tatanan hukum positif di Indonesia sudah tidak relevan.

Menurut dia, beberapa peraturan di tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) maupun undang-undang sudah membatalkan persoalan tersebut. “Referendum itu dalam khasanah hukum di Indonesia itu sudah selesai. Tidak ada,” kata Wiranto usai memimpin rapat koordinasi terbatas dengan sejumlah pejabat pemerintahan di Gedung Kemenko Polhukam,  Jakarta, Jum'at, (31/5).

Referendum atau jajak pendapat politik ini memang pernah ada dalam Ketetapan MPR Nomor 4 Tahun 1993. Namun, dasar ini sudah dicabut melalui TAP MPR Nomor 8 Tahun 1998. Demikian pula  istilah referendum dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1985 sudah dianulir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1999. 

Bagi mantan panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 1998 ini, referendum juga susah dilakukan di Indonesia jika mengacu pada peraturan peradilan internasional. Di sana disyaratkan bahwa usaha pelepasan suatu daerah dari negara bisa terjadi apabila terjadi dekolonisasi seperti yang terjadi di Timor-Timur. 

Karena itu, dia akan menindak tegas terhadap pihak-pihak yang menggerakan rencana tersebut. Namun hal itu belum bisa direlisasikan karena Muzakir Manaf, mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), itu tidak berada di Indonesia. “Iya pasti. Ketika hukum positif sudah ditabrak tentu ada sanksi hukumnya,” ujar Wiranto.

Dia melihat kemungkinan wacana ini timbul karena ada ketidakpuasan dari hasil Pemilu 2019. Hal ini bisa jadi karena bentuk kekecewaan dari merosotnya jumlah kursi Partai Aceh dalam kontestasi Pemilu Daerah. “Kalau tidaka salah, pemilu pertama tahun 2009 itu kursinya 33, tahun 2014 tinggal 29, dan terakhir tinggal 18 kursi. Sangat boleh jadi karena pemilu,” ujarnya.

Seperti diketahui, Ketua DPA Partai Aceh ini beberapa waktu lalu mengeluarkan permintaan referendum untuk wilayah Aceh. Hal itu ia utarakan pada saat mengahadiri Haul Wali Nanggroe Paduka Yang Mulia Tgk Muhammad Hassan Ditiro, Senin (27/5) lalu.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...