BEI Nilai Janggal Laporan Keuangan Garuda Triwulan I-2019
Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah memantau laporan keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) pada triwulan I-2019. Hal ini masih terkait dengan transaksi Garuda dengan PT Mahata Aero Teknologi yang membuat laporan keuangan perusahaan untuk tahun buku 2018 terlihat janggal.
"(Laporan Keuangan) yang audited 2018 dan triwulan I-2019 itu menjadi bagian yang tidak terpisah. Makanya ada dua terminologi yang kami sampaikan," kata Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna Setya di Gedung BEI, Jakarta, Selasa (18/7).
Dua terminologi yang Nyoman sampaikan, pertama yaitu terkait initial recognition atau pengakuan pertama kali yang disampaikan atas pendapatan dari kerja sama dengan Mahata yang tercantum dalam laporan keuangan 2018. Kedua, terkait kualitas aset, yaitu piutang yang diakui Garuda sampai triwulan I-2019.
"Bagaimana mereka (Garuda) meyakinkan bahwa piutang yang dicatat di triwulan I-2019 itu memang benar-benar dalam kondisi yang colectibility-nya layak untuk dicatat," kata Nyoman.
Dalam laporan keuangan Garuda periode tiga bulan pertama 2019, tercatat piutang Mahata kepada Garuda senilai US$ 233,13 juta atau setara Rp 3,2 triliun (kurs Rp 14.000 per US$). Sedangkan piutang Mahata ke Garuda per Desember 2018 nilainya sama, sehingga belum ada pembayaran yang dilakukan.
"Tidak ada cash di triwulan I-2019, itu masih tercatat piutangnya. Sedangkan di perjanjian Oktober 2018, harusnya bentuknya sudah dalam bentuk cash," kata Nyoman.
(Baca: Soal Putusan Lapkeu 2018 Garuda, BEI Buka Opsi Minta Penyajian Ulang)
Dalam perjanjian dengan Mahata pada Oktober 2018, Nyoman mengatakan seharusnya sudah ada cash yang wajib diterima oleh Garuda di tiga bulan pertama 2019. Namun, hingga Maret 2019 ternyata belum ada pembayaran yang masuk sehingga jumlah piutangnya masih sama. Sehingga, pihak bursa mempertanyakan hal tersebut.
"Kami juga melakukan pengujian terhadap tingkat colectibilty dari aset yang dia punya berupa piutang, kan ini dicatat sebagai piutang," kata Nyoman.
Kasus laporan keuangan maskapai pelat merah ini bermula dari dua Komisarisnya, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, menyoroti pencatatan akuntansi pada laporan kinerja keuangan perusahaan tahun buku 2018. Mereka menilai pencatatan akuntansi dalam laporan keuangan tersebut tidak sesuai dengan standar pencatatan akuntansi. Alhasil, mereka menolak untuk menandatangani laporan keuangan tersebut.
Mereka menilai, seharusnya Garuda Indonesia mencatatkan rugi tahun berjalan senilai US$ 244,95 juta. Namun, di dalam laporan keuangan malah tercatat memiliki laba tahun berjalan senilai US$ 5,01 juta.
Keberatan mereka didasarkan pada perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan yang ditandatangani oleh anak usaha Garuda Indonesia, yakni PT Citilink Indonesia dengan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata). Menurut mereka pendapatan dari Mahaka yang sebesar US$ 239,94 juta tidak dapat diakui dalam tahun buku 2018.
(Baca: Kisruh Laporan Keuangan Garuda, BEI Minta Masukan Ikatan Akuntan)
Berdasarkan dokumen yang didapatkan oleh awak media tertanggal 2 April 2019, sikap kedua komisaris tersebut didasarkan kepada tidak ada pembayaran yang telah dilakukan oleh Mahata meskipun telah terpasang satu unit alat wifi di Citilink. Bahkan dalam perjanjian dengan Mahata, tidak tercantum term of payment karena pada saat itu masih dinegosiasikan cara pembayarannya.
Selain itu, menurut Chairal dan Dony, sampai saat ini tidak ada jaminan pembayaran yang tidak dapat ditarik kembali (seperti bank garansi atau instrumen keuangan yang setara) dari pihak Mahata kepada Garuda Indonesia. Padahal jaminan pembayaran tersebut merupakan instrumen yang menunjukkan kapasitas Mahata sebagai perusahaan yang bankable. Mahata hanya memberikan Surat Pernyataan Komitmen Pembayaran Biaya Kompensasi.
Dalam Perjanjian Mahata juga terdapat pasal pengakhiran yang menyatakan Citilink dapat mengakhiri sewaktu waktu dengan alasan bisnis. Padahal menurut Penyataan Standar Akutansi Keuangan (PSAK) nomor 23, dapat diterimanya pendapatan harus diukur dengan pendapatan tetap atau jaminan yang tidak dapat dikembalikan dalam suatu kontrak yang tidak dapat dibatalkan.
Menurut mereka, dengan pengakuan pendapatan seperti itu berdampak pada laporan keuangan tahun buku 2018 yang seharusnya membukukan kerugian yang signifikan menjadi laba. Terlebih Garuda Indonesia merupakan perusahaan publik atau terbuka, ada potensi yang sangat besar atas penyajian kembali laporan keuangan tersebut yang dapat merusak kredibilitas perusahaan.
(Baca: Kisruh Laporan Keuangan, Garuda Akui Belum Terima Bayaran dari Mahata)