Dilanda Kemarau, Produksi Beras Diperkirakan Turun Dua Juta Ton
Peneliti sekaligus Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas memperkirakan produksi beras tahun ini menurun dua juta ton dibandingkan tahun lalu. Pasalnya, luas lahan yang gagal panen atau puso meningkat. Selain disebabkan oleh musim kemarau, juga karena musim panen yang bergeser menjadi Agustus 2019.
“Terjadi penurunan produksi karena musim panen kedua tahun ini terjadi pada puncak kemarau sehingga potensi puso cukup besar,” kata dia kepada Katadata.co.id, beberapa hari yang lalu.
Risiko puso sebelumnya telah terjadi saat musim panen pertama. Seharusnya panen itu terjadi pada Februari-Maret, namun menjadi Maret-April. Hal ini membuat petani beralih menjadi menanam tanaman nonpadi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi tahun lalu sebanyak 32,5 juta ton setara beras. Adapun, Kementerian Pertanian menargetkan produksi padi sepanjang 2019 mencapai 84 juta ton atau setara 49 juta ton beras.
(Baca: Kementan Janjikan Kompensasi Lahan Sawah yang Terimbas Kekeringan)
Andreas meragukan efektivitas kebijakan Kementerian Pertanian (Kementan) untuk mengompensasi lahan sawah yang mengalami kekeringan. "Lahan kompensasi itu sudah ada sejak dahulu. Jadi bukan mendadak ada di 2019," ujarnya.
Namun, ia mengakui lahan sawah di luar Jawa lebih aman lantaran masih ada hujan sebagian. Sementara, lahan sawah di Jawa, Bali, dan Sumatera Selatan sudah mengalami kekeringan.
Karena tu, ia menyarankan pemerintah untuk lebih cermat menghitung stok maupun potensi pasokan beras yang akan masuk. Hal ini untuk mencegah harga beras melambung tinggi.
Terlebih lagi, ia mengatakan harga gabah kering panen saat ini sudah mencapai Rp 5 ribu per kilogram, lebih tinggi dari bulan lalu sebesar Rp 4.656 per kg. Hal ini menunjukkan stok gabah kering panen menipis. Padahal, musim panen baru terjadi pada Agustus. "Berarti ini jadi masalah serius. Ada gangguan produksi di tingkat usaha tani," ujar dia.
Selain itu, ia menyarankan pemerintah untuk memberikan subsidi kepada petani, seperti subsidi solar, untuk membantu pemompaan air pada lahan yang kekeringan. Selain bantuan subsidi, Andreas mengusulkan adanya pemberian dana untuk petani yang mengalami puso, terutama bagi petani di luar anggota asuransi usaha tani padi (AUTP).
(Baca: Musim Kemarau, Luas Lahan Gagal Panen Capai 9.358 Hektare)
Sebelumnya, Kementerian Pertanian (Kementan) menyebutkan luas lahan yang gagal panen atau puso akibat kekeringan mencapai 9.358 hektare (ha) hingga 4 Juni lalu. Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana (PSP) Kementan Sarwo Edhi mengatakan, ada sekitar 100 kabupaten/kota yang terdampak kekeringan. "Terdapat kurang lebih 100 kabupaten/kota yang terdampak kekeringan pada musim kemarau 2019 dengan total kekeringan 102.746 ha dan puso 9.358 ha," kata dia.
Daerah yang mengalami puso terluas ialah Jawa Timur seluas 5.069 ha. Kemudian, disusul oleh Jawa Tengah seluas 1.893 ha, Yogyakarta 1.757 ha, Jawa Barat 624 ha, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) 15 ha.
Sementara, daerah yang mengalami kekeringan meliputi Jawa Timur seluas 34.006 ha, Jawa Tengah 32.809 ha, Jawa Barat 25.416 ha, Yogyakarta 6.139 ha, Banten 3.464 ha, Nusa Tenggara Barat (NTB) 857 ha, dan NTT 55 ha.
(Baca: Bahaya Kemarau Panjang yang Mengancam Produksi Pangan)