Riset CSIS: Grab Beri Surplus Ekonomi Rp 46 Triliun di Jabodetabek
Riset Centre for International and Strategic Studies (CSIS) dan Tenggara Strategics menyebut bahwa layanan on demand Grab disebut memberikan keuntungan alias surplus sekitar Rp 46,14 triliun bagi konsumennya di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi (Jabodetabek) pada 2018. Jumlah tersebut terdiri dari surplus bagi konsumen mencapai Rp 5,73 triliun, sedangkan GrabCar berkontribusi sebesar Rp 40,41 triliun.
Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal mengatakan, surplus konsumen merupakan manfaat yang diperoleh konsumen dari membeli barang atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari jumlah maksimal kesediaan membayar. Ia mencontohkan, kesediaan membayar salah seorang konsumen untuk ongkos transportasi ke bandara adalah Rp 200 ribu. Jika harga yang ditawarkan Grab ke bandara Rp 150 ribu, maka orang tersebut memperoleh surplus konsumen sebesar Rp 50 ribu.
"Surplus konsumen yang dikontribusikan oleh Grab memungkinkan pelanggan menghemat ongkos transportasi mereka, dan menggunakannya untuk membeli barang atau jasa lainnya yang dapat meningkatkan kualitas hidupnya," ujar Yose saat ditemui di acara Benefits of Digital Economy di Fairmont Hotel, Jakarta, Selasa (23/7).
(Baca: Grab Bantu Luhut Promosi Empat Destinasi dari 10 Bali Baru)
Ia melanjutkan, riset tersebut mencoba menghitung kontribusi teknologi Grab sebagai salah satu pelaku industri teknologi digital yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Menurutnya, riset itu tidak hanya mengungkapkan berbagai manfaat yang didapatkan oleh mitra Grab seperti mitra pengemudi maupun mitra usaha, tetapi juga manfaat bagi pelanggan dan pengguna.
Temuan surplus konsumen ini juga konsisten dengan hasil survei CSIS-Tenggara Strategics terhadap 500 konsumen di lima kota yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar dan Medan pada November sampai Desember 2018.
Survei tersebut menemukan fakta bahwa walaupun 72% konsumen memiliki kendaraan pribadi roda dua dan 28% memiliki kendaraan pribadi roda empat. Mereka lebih memillih GrabBike dan GrabCar karena beberapa alasan, di antaranya harga yang lebih terjangkau serta pelayanan yang aman dan nyaman.
Selain itu, tersedianya pilihan moda transportasi dengan harga yang lebih terjangkau memberikan konsumen kesempatan untuk berhemat, khususnya bagi 41,2% konsumen yang memiliki tanggungan.
Ia menjelaskan, penerima manfaat terbesar dari ekonomi digital adalah dunia usaha, terutama UMKM, dan konsumen. "Formulasi kebijakan terkait ekonomi digital seharusnya mempertimbangkan kesejahteraan seluruh pihak terkait agar manfaatnya optimal," ujarnya.
(Baca: Investor Grab, Softbank Bakal Bertemu Jokowi pada Agustus)
Direktur Eksekutif Tenggara Strategies Riyadi Suparno mengatakan, hasil studi surplus konsumen Grab dan survei mitra Grab tersebut menunjukkan bahwa manfaat yang dihasilkan oleh perusahaannya jauh lebih besar dari yang disangkanya, baik untuk konsumen dan mitra. "Perlu studi-studi sejenis untuk mengukur manfaat kehadiran pcrusahaan-perusahaan teknologi di lndonesia," ujarnya.
Riset tersebut dilakukan pada 7 sampai 27 Mei 2018 dan 2 Juli sampai 12 Agustus 2018 yang terdiri dari dataset bigdata pada 215 juta observasi GrabBike dan 642 juta observasi Grabcar. Namun, data ini tidak termasuk sesi yang mempengaruhi guncangan eksternal seperti Ramadan dan akuisisi Uber oleh Grab.
Sebelumnya, riset CSIS dan Tenggara Strategies pada 11 April lalu menyimpulkan bahwa kehadiran Grab telah memberi kontribusi sebesar Rp 48,9 triliun terhadap perekonomian Indonesia melalui pendapatan para pengemudi GrabBike dan GrabCar, mitra GrabFood, dan agen Kudo individual.
Dengan menawarkan peluang pendapatan kepada sekitar 300 ribu pengemudi dan 40 ribu agen Kudo individual yang sebelumnya menganggur, diperkirakan input ekonomi Grab mencapai Rp 16,4 triliun pada 2018.
(Baca: PergiUmroh, Marketplace Travel Umrah Incar Kemitraan dengan Grab)