Pemerintahan Jokowi Komitmen Tingkatkan Anggaran Riset
JAKARTA --- Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla selama periode 2016 hingga 2019 terus meningkatkan dana untuk riset dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Pada tahun 2016, anggaran riset mencapai Rp 24 triliun, tapi tiga tahun kemudian meningkat menjadi Rp 35,7 triliun.
Alokasi anggaran untuk riset itu merupakan bagian dari anggaran Pendidikan yang nilainya juga terus meningkat. Tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 492,5 triliun. Bandingkan dengan anggaran pedidikan pada 2015 sebesar Rp 353,4 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, anggaran untuk riset itu dibagi-bagi ke 45 kementerian dan lembaga.
“Kok kecil amat? Mungkin ada yang bertanya begitu. Lalu, kalau saya kasih datanya, ada yang bilang lagi anggaran pendidikan sebesar Rp 400 triliun itu ke mana saja? Kok ndak terasa? Ndak nendang, padahal magnitude-nya besar. Memang anggaran itu dibagi-bagi ke 45 kementerian dan lembaga, makanya tidak terasa,” kata Sri Mulyani dalam orasi ilmiah forum publik bertajuk “Mencari Model dan Pengelolaan Dana Riset untuk Indonesia” di Jakarta, Rabu, 31 Juli 2019.
Forum ini merupakan hasil kerja sama antara Katadata dan Knowledge Sector Initiative (KSI) yang didukung oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia. Selain Menteri Keuangan Sri Mulyani, forum ini juga menghadirkan Deputi II Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho, Kepala Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Associate Professor at Division of Economics, Nanyang Technological University, Singapura, Yohanes Eko Riyanto, dan Chief of Data Officer OVO Vira Shanty.
Selain alokasi anggaran pendidikan dan penelitian yang diberikan melalui kementerian dan lembaga, mulai tahun ini dalam APBN Tahun Anggaran 2019, pemerintah juga memberikan dana riset lewat pos Dana Abadi Riset senilai Rp 990 miliar. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan pemerintah akan kembali meningkatkan dana riset lewat kementerian dan lembaga serta Dana Abadi Riset itu di tahun-tahun yang akan datang.
Sayangnya, menurut Sri Mulyani, 66 persen dari total belanja penelitian di Indonesia didominasi oleh pemerintah. Sementara peranan swasta hanya 10 persen.
“Kurangnya partisipasi swasta ini pasti ada penyebabnya. Yang paling mudah pasti bilang karena tidak ada insentif. Pemerintah sudah mengeluarkan insentif, tapi prosesnya meleset dan saya dengar dari swasta karena terlalu banyak prosesnya. Jadi meskipun kebjakan ini sudah dikeluarkan 10 tahun yang lalu, dampaknya sangat kecil. Pemerintah kemudian mengeluarkan insentif lagi untuk inovasi dan pendidikan vokasi.
“Jadi di luar dana riset yang Rp 35 triliun, pemerintah masih memberikan insentif karena ingin menyeimbangkan peranan agar kontribusi pendanaan riset tidak hanya dari pemerintah. Sebab, kalau riset itu keluar dari swasta biasanya muncul problem solving yang lebih riil,” kata Sri Mulyani.
Namun, hanya 43,7 persen dari dana riset itu yang murni digunakan untuk riset. Sisanya, lebih banyak digunakan untuk belanja operasional, belanja modal, dan mendukung jasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Mungkin bisa saja dana yang digunakan untuk non-riset 57 persen itu tidak salah. Bisa jadi, kata Sri Mulyani, itu terjadi karena infrastrukturnya yang tidak ada, sehingga harus mengeluarkan belanja operasional yang lebih besar atau tidak share services yang menyebabkan setiap penelitian harus mengeluarkan biaya operasional sendiri.
“Di sinilah kalau kita membicarakan soal desain kelembagaan dan tata kelola,
bisakah pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan swasta memikirkan share services itu bisa dilakukan, sehingga tidak semua penelitian tidak mengeluarkan hal-hal yang tidak perlu, alokasi dana benar-benar untuk penelitian.”
Surabaya versus Jakarta
Pada sesi yang lain, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang akrab disapa Risma, mengatakan bukan masalah besar atau kecilnya anggaran tapi bagaimana mengelola dana tersebut. Dia mencontohkan perbedaan anggaran antara Kota Surabaya dan Jakarta. APBD Tahun Anggaran 2019 hanya Rp 9,5 triliun, sementara Jakarta Rp 89,08 triliun. Namun, dengan dana Rp 9,5 triliun itu, Surabaya kini memiliki jalan baru sepanjang 250 kilometer, 2.500 perpustakaan baru, 110 sekolah baru, serta 70 taman dan 70 lapangan olahraga baru.
Bahkan, Risma melanjutkan, hampir seluruh layanan publik di Kota Surabaya sudah menggunakan teknologi (elektronik), seperti layanan kesehatan sehingga warga tidak perlu datang mengantri berlama-lama di rumah sakit. Dengan aplikasi, warga yang sakit bisa mendaftar secara online dan hanya dating begitu hampir mendekati nomor urutnya.
Untuk membuat Surabaya menjadi cantik seperti sekarang, Risma tidak memberikan anggaran khusus untuk riset dalam APBD. Cukup hanya dengan dana operasional lewat dinas-dinas, apa yang diinginkannya bisa terlaksana. Misalnya, Risma ingin mengurangi polusi di kotanya. Dia akan melihat-lihat penelitian yang sudah dilakukan oleh perguruan tinggi tanaman apa yang sebaiknya di taman-taman dan dia tidak akan malu bertanya berkali-kali jika belum menemukan solusinya.
Pemerintah kota, kata Risma, telah bekerja sama dengan perguruan tinggi negeri maupun swasta yang ada di kota itu untuk menjadikan Surabaya sebagai kota yang ramah lingkungan.
“Dulu waktu saya baru menjabat sebagai wali kota, inflasi di Surabaya tinggi sekali karena harga sayur sangat mahal. Sayuran mahal karena harus didatangkan dari kota lain. Saya lalu bertanya ke berbagai perguruan tinggi bagaimana caranya supaya Surabaya bisa menanam salad keriting. Peneliti banyak yang bilang tidak bisa, tapi saya bilang lagi bagaimana caranya tetap harus bisa. Apa yang dibutuhkan sehingga sayuran itu bisa ditanam. Lalu, saya buatkan embun biar tanaman itu bisa tumbuh. Sekarang Surabaya bisa menanam salad keriting dan sayuran lainnya. Warga saya suruh untuk menanam sayuran sampai hasilnya berlebih dan bisa dijual ke tempat lain,” kata Risma.
Menurut Risma, Surabaya kini menjadi kota lestari yang ramah lingkungan. Jika sebelumnya suhu di kota ini mencapai 34-35 derajat Celcius, sekarang sudah turun menjadi 32 dan di pagi hari bisa mencapai 20. “Saya bermimpi menjadikan Surabaya bisa mencapai 18 derajat Celcius,” dia menambahkan.