Negosiasi dagang antara pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok pada pekan lalu berakhir buruk. Alih-alih mendapatkan kesepakatan, kedua belah pihak malah berbalas mengeluarkan serangan.

Serangan pertama, tentu saja, dari Donald Trump. Tepat awal Agustus lalu, Presiden AS ke-45 itu mengancam akan kembali menaikkan bea masuk terhadap produk Tiongkok yang belum tersentuh tarif baru. Kenaikannya mencapai 10% untuk produk-produk bernilai US$ 300 miliar.

Advertisement

“Perwakilan kami baru saja kembali dari Tiongkok. Kami sudah mencapai kesepakatan dengan Cina tiga bulan lalu. Sayangnya, mereka memutuskan untuk negosiasi ulang,” kata Trump melalui akun Twitternya, Kamis (1/8).

Trump kecewa karena Beijing batal membeli produk agrikultur dari negaranya. Bahkan Tiongkok berencana menghentikan penjualan obat keras Fentanyl ke Negeri Abang Sam. AS tak terima, lalu menaikkan tarif untuk produk Cina dan akan berlaku mulai 1 September 2019.

Ini bukan kali pertama Trump meningkatkan bea masuk produk Beijing. Hal serupa juga pernah ia lakukan pada 5 Mei lalu. Produk Tiongkok bernilai US$ 200 miliar ia tambah tarifnya dari 10% menjadi 25%. Penyebabnya juga sama karena negosiasi dagang yang mentok.

Sejak menempati Gedung Putih pada 2017 lalu, Trump memang tak main-main dengan kebijakan luar negerinya, “America First”. Negara-negara yang ia anggap merugikan AS akan kena serangannya. Sasaran tembaknya selama ini memang lebih banyak mengarah ke Tiongkok. Pasalnya, defisit dagang AS dengan negara itu paling tinggi. Pada 2018 nilainya mencapai US$ 419 miliar. (Lihat Databoks berikut ini)

Tapi Beijing bukan bergeming menghadapi hal itu. Pemerintah Negeri Panda itu melawan. Dari mulai menaikkan tarif produk Negeri Abang Sam pada awal Juni 2019 sampai menurunkan nilai mata uangnya, yuan.

Serangan pada awal pekan ini di luar dugaan. Pelemahan nilai yuan ke level terendah dalam 11 tahun terakhir menjadi 7 yuan per dolar AS merontokkan pasar keuangan dan komoditas global. “China menurunkan nilai mata uangnya ke level terendah sepanjang sejarah. Ini namanya memanipulasi mata uang,” kata Trump kemarin.

Perang dagang yang berlangsung setahun terakhir ini berkembang menjadi perang mata uang, currency war. Kalau melihat sejarahnya, devaluasi pernah menyebabkan Depresi Besar pada 1930-an. Ketika itu negara-negara maju, salah satunya AS, meninggalkan standar emas sebagai patokan mata uangnya menjadi nilai logam dan mengakibatkan krisis ekonomi.

 (Baca: Perang Dagang AS-Tiongkok Berpotensi Menuju Perang Mata Uang)

Mata uang Tiongkok
Mata uang Tiongkok (123RF.com/Nat Bowornphatnon)

Yuan Melemah, Rupiah Tertekan

Turbulensi langsung datang ke pasar keuangan. Nilai rupiah anjlok lebih dari 2% sejak negosiasi dagang berlangsung pekan lalu hingga hari ini. Begitu pula dengan mata uang regional lainnya. Dari grafik Databoks berikut ini terlihat pelemahan sebagian mata uang Asia terhadap dolar AS. Hanya yen Jepang saja yang mengalami penguatan pada perdagangan kemarin.

Ekonom Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan, tindakan devaluasi yuan meningkatkan risiko investasi sehingga pelaku pasar akan mencari aset-aset yang paling aman untuk menanamkan modalnya. Maka dari itu, sentimen pasar yang menguat adalah risk-averse atau penghindaran risiko.

Berdasarkan data historis, pelemahan nilai tukar yuan Tiongkok akan ikut menyeret pelemahan nilai mata uang lainnya, terutama mata uang negara berkembang.  "Usaha China melemahkan mata uangnya sendiri dipandang investor sebagai retaliasi perang dagang," kata Yosua kepada Antara

Tepat empat tahun lalu, pemerintah Tiongkok pernah melakukan devaluasi yuan sebesar 3%. Ketika itu ekspor negaranya turun karena kalah kompetitif dibandingkan dengan produk negara lainnya, seperti Jepang dan Jerman. Pergerakan yuan selama 11 tahun terakhir dapat terlihat pada grafik Databoks berikut ini.

 

(Baca: Kurs Rupiah Melemah Tembus 14.300 per Dolar AS, BI Intervensi Pasar)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement