Perang dagang yang diusung Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membuat situasi ekonomi dunia semakin rumit. Kesepakatan dengan Tiongkok tak kunjung terwujud. Sementara, Trump juga dikejar waktu untuk memenangkan perang ini sebelum pemilihan umum berlangsung di negaranya pada 5 November nanti.

Perusahaan investasi Goldman Sachs menilai kemungkinan kedua negara bersepakat terlihat masih sulit. Washington dan Beijing sama-sama bersikeras dengan alasan membela kepentingan negara masing-masing.

Advertisement

“Kami sebelumnya berasumsi Trump akan membuat kesepakatan agar lebih menguntungkan bagi prospek terpilihnya kembali dirinya pada 2020,” kata laporan Goldman Sachs, seperti dikutip dari CNN, Rabu (7/8). “Kami sekarang kurang yakin bahwa ini adalah pandangannya.”

(Baca: Katadata Market Index: Tertekan Perang Dagang, IHSG Agustus Bearish)

Ketika dua raksasa ekonomi dunia bertengkar, negara lain pun terkena imbasnya. Bank Dunia pada Juni lalu menyebut pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Timur dan Pasifik melemah dari 6,3% pada tahun lalu menjadi 5,9% pada 2019 dan 2020 akibat perang dagang.

Angka di bawah 6% itu merupakan yang pertama kalinya sejak krisis keuangan melanda kawasan itu pada 1997-1998. Indonesia diperkirakan mengalami pertumbuhan yang stagnan atau tak berubah dibandingkan tahun lalu. Angkanya di 5,2%.

Badan Pusat Statistik (BPS) awal pekan ini pun mengeluarkan angka pertumbuhan ekonomi yang tak terlalu menggembirakan. Pertumbuhannya pada kuartal kedua 2019 mencapai 5,05% secara tahunan, melambat dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya yang sebesar 5,27%. Dari grafik Databoks terlihat angka pertumbuhan itu merupakan yang terendah dalam dua tahun terakhir.

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, ekonomi saat ini mayoritas didorong konsumsi rumah tangga yang pertumbuhannya mencapai 5,17%. Sementara, investasi dan penanaman modal tetap bruto (PMTB) hanya tumbuh 5,01% dan ekspor terkontraksi 1,84%.

Konsumsi rumah tangga berkontribusi 55% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Pertumbuhan konsumsi sebesar 5,17%, menurut grafik Databoks, merupakan yang tertinggi dalam 21 triwulan terakhir. Pengeluaran masyarakat terbesar saat ini adalah makanan, transportasi, dan komunikasi.

Melambatnya PMTB mayoritas karena turunnya investasi pada barang modal jenis kendaraan sebesar 0,04% akibat angka penjualan mobil yang melemah sebesar 10% secara tahunan. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, PMTB tumbuh 8,01%.

Sementara, ekspor turun karena kondisi perekonomian global yang melemah akibat perang dagang AS dan Tiongkok. Karena itu, Suhariyanto menilai, banyak hal harus dibenahi pemerintah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, seperti kepastian hukum dan penyederhaan regulasi. “Tantangan perekonomian global juga harus diwaspadai,” katanya.

(Baca: BPS: Pertumbuhan Industri Manufaktur Pada Triwulan II-2019 Melambat)

Susahnya Merebut Pasar Tiongkok

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai eskalasi perang dagang AS-Tiongkok akan merugikan ekonomi Indonesia. Apalagi, negara ini memiliki relasi ekonomi kuat dengan Tiongkok dari sisi perdagangan maupun investasi.

Rencana Trump menaikkan tarif produk Tiongkok yang masuk ke negaranya sebesar 10%, akan menjadi beban terhadap ekonomi Indonesia. “Ekspor ke Tiongkok turun. Penurunan yang lebih besar, yaitu investasi dari negara itu,” katanya kepada Katadata.co.id.

Di sisi perdagangan dengan AS, ia memprediksi akan ada peningkatan ekspor dan perdagangan. “Tapi, peningkatan ini tidak akan bisa menutup defisit perdagangan kita dengan Tiongkok,” ucap Shinta.

Dampak tidak langsung dari hal itu adalah defisit perdagangan Indonesia akan naik, penurunan jumlah devisa dalam negeri untuk menjamin perdagangan, serta fluktuasi nilai tukar.

(Baca: Perang Mata Uang, Yuan Jadi Senjata Tiongkok Lawan Trump)

Lantas, apakah ada peluang Indonesia mengambil akses produk Tiongkok ke AS?

Shinta menilai, hal itu tidak mungkin. Pasalnya, sebagian besar produk Tiongkok yang kena tarif dagang oleh Trump merupakan rantai pasokan untuk industri manufaktur AS. “Sayangnya, struktur perdagangan kita dengan AS tidak banyak produk seperti ini,” ucapnya. Selain itu, produk Indonesia tidak seefisien India dan Vietnam.

Kedua, terkait kapasitas produksi. Sebagian besar eksportir sudah memproduksi dalam kondisi kapasitas produksi penuh. “Jadi untuk mengekspor lebih dari sekarang dan menikmati pangsa pasar Tiongkok di AS, kita perlu investasi lagi untuk membuka pabrik baru,” kata Shinta.

Nah, masalahnya investasi tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Setidaknya butuh 6-12 bulan untuk memperluas pabrik dan lebih dari satu tahun untuk pabrik yang betul-betul baru.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement