Darmin Yakin Defisit Transaksi CAD di Bawah 3% dengan Hilirisasi Industri
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution optimistis defisit neraca transaksi berjalan (current account defisit/CAD) bakal turun di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB). Turunnya CAD akan ditopang oleh perkembangan industri 4.0. serta hilirisasi industri yang akan meningkatkan daya saing produk nasional.
Darmin mengungkapkan defisit minyak dan gas (migas) yang naik pada saat puasa dan Lebaran jadi penyebab CAD membengkak menjadi US$ 8,4 miliar atau 3% dari PDB. "Setelah Juli, seharusnya normal lagi," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (12/8).
Darmin mengungkapkan Kementerian Perindustrian punya target industri 4.0. Selain itu, hilirisasi pertambangan dan pembangunan smelter juga jadi fokus pemerintah. Hilirisasi produk minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) menjadi B30 juga sudah berlangsung untuk menyambut 2020.
Dia juga menjelaskan realisasi serapan minyak kelapa sawit untuk produk B20 serta penggunaan dalam negeri yang meningkat bakal menekan impor minyak dan gas. Selain itu, harga minyak sawit di tingkat petani membaik di level global. Dia mengklaim potensi penghematan devisa bakal lebih besar dengan program B20.
(Baca: Kicauan Presiden Trump dan Defisit CAD RI Melemahkan Rupiah Senin Ini)
Menurut Darmin, penghematan impor migas karena B20 bisa mencapai US$ 3,4 miliar. Proyeksi itu dia perkirakan karena capaian penekanan impor migas yang bisa mencapai US$ 1,6 miliar pada periode Januari-Juli 2019. Dia melihat penekanan pada CAD bisa didorong meski ada perang dagang yang mempengaruhi neraca dagang.
Meski perkiraan itu tak mencapai target awal US$ 5,5 miliar, dia optimistis volume Fatty Acid Methyl Esters (FAME) yang menggantikan solar terus meningkat. "Itu menggantikan solar yang tidak jadi impor, jadi tergantung harga solar saat ada pergantian itu juga," ujar Darmin.
Sebelumnya, BI merilis data defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2019 mencapai US$ 8,4 miliar atau sebesar 3% dari PDB. Defisit itu melebar dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 8 miliar.
Berdasarkan data BI, meningkatnya defisit transaksi berjalan dipengaruhi oleh perilaku musiman repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri. Selain itu, BI menyebut kondisi perekonomian global sedang tidak menguntungkan.
(Baca: Respons Defisit Transaksi Berjalan Tembus 3%, Sri Mulyani Cuma Senyum)
"Pada kuartal kedua 2019, defisit neraca pendapatan primer membesar didorong faktor musiman peningkatan kebutuhan repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri," jelas BI dalam laporan Neraca Pembayaran Indonesia kuartal II 2019.
Di sisi lain BI mengungkapkan defisit transaksi berjalan juga disebabkan oleh memburuknya kinerja ekspor Indonesia pada kuartal II 2019 akibat harga komoditas yang tak bersahabat.
Ekspor nonmigas tercatat turun dari kuartal I 2019 sebesar US$38,2 miliar menjadi US$ 37,2 miliar. Adapun defisit migas meningkat dari US$ 2,2 miliar menjadi US$ 3,2 miliar.