Sekitar pukul 03.30 pagi, pria berusia 78 tahun itu menyalakan api yang langsung membakar seluruh tubuhnya. Ia melakukan hal tersebut di dalam mobilnya yang terparkir di depan Kedutaan Besar Jepang untuk Korea Selatan pada 19 Juli lalu.

Polisi setempat mengatakan pria yang memiliki nama keluarga Kim itu tewas ketika menerima perawatan di rumah sakit. Di mobilnya, polisi menemukan wadah bensin, gas butana, dan bahan mudah terbakar lainnya.

Advertisement

Motif bunuh diri Kim diduga rasa antipati terhadap Jepang. Ketegangan antar kedua negara yang terjadi sejak awal bulan lalu menyulut tindakan fatalnya tersebut.

Hubungan Seoul dan Tokyo memburuk sejak Jepang memperketat kontrol atas ekspor bahan kimia yang sangat penting bagi sektor industri Korea Selatan. Pengetatan itu berlaku pada 4 Juli 2019.

Bahan kimia penting tersebut merupakan material utama dalam pembuatan semikonduktor dan layar panel datar. Kedua produk ini merupakan ekspor utama dari Negeri Ginseng.

“Langkah-langkah ini mengikuti sistem kontrol ekspor yang didasarkan pada aturan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Tidak bertentangan dengan perdagangan bebas,” kata Wakil Sekretaris Kabinet Jepang Yasutoshi Nishimura seperti dikutip Financial Times beberapa waktu lalu.

 (Baca: Ekonom Peringatkan Perang Dagang Jepang-Korsel Lebih Berisiko Bagi RI)

Hubungan Dagang Jepang-Korsel Memanas
Hubungan Dagang Jepang-Korsel Memanas (Katadata)

Namun, Seoul menduga Tokyo melakukan hal tersebut sebagai pembalasan atas keputusan Mahkamah Agung Korea Selatan. Pada akhir 2018, pengadilan tertinggi di sana memerintahkan perusahaan Jepang, termasuk Mitsubishi Heavy Industries dan Nippon Steel & Sumitomo Metal, untuk memberi kompensasi kepada para korban kerja paksa.

Pada saat Perang Dunia II, mereka dipaksa bekerja untuk kepentingan perang Jepang, seperti membangun kapal dan pesawat terbang. Keputusan ini membuat pemerintah Jepang meradang. Tokyo berkukuh masalah ini sudah selesai di bawah perjanjian normalisasi hubungan kedua negara pada 1965.

Panas-dingin hubungan Jepang dan Korea Selatan sudah lama berlangsung. Sejarah kelam kedua negara kerap menjadi pemicunya. Tapi kali ini terasa berbeda karena berbarengan dengan perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.

Washington dan Beijing saling berbalas menaikkan perang tarif, bahkan nilai mata uang yuan pun sampai dilemahkan. Perselisihan Tokyo dan Seoul pun tak kalah sengit.

Setelah melakukan pengetatan, pada 2 Agustus lalu Jepang menghapus Korea Selatan dalam daftar putih negara-negara yang mendapat perlakuan khusus perdagangan. Keputusan ini akan berlaku pada 28 Agustus nanti.

Korea Selatan lalu membalasnya 10 hari kemudian dengan mengeluarkan Jepang dari mitra negara yang memiliki perlakuan khusus dalam hal perdagangan. Keputusan ini berlaku pada 1 September nanti. Masyarakat di sana pun ikut serta dalam perang ini dengan melakukan tindakan boikot terhadap produk dari Negeri Para Samurai, termasuk Uniqlo, Muji, Daiso, dan 7-Eleven.

Kedua negara sepakat melakukan perundingan pada 20-22 Agustus 2019 di Cina. Harapannya, konflik ini dapat segera berakhir.

(Baca: Sri Mulyani: Indonesia Harus Waspadai Resesi)

Pasar Bebas yang Tak Lagi Bebas

Perselisihan AS-Tiongkok dan Jepang-Korea Selatan memang dua hal yang berbeda. Namun, benang merahnya adalah para pemimpin negara maju saat ini sedang menempatkan prioritas domestik di atas stabilitas global. Proteksionisme begitu istilahnya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement